Terasi adalah salah satu unsur bumbu penting khas hidangan Indonesia
yang ditemukan dalam kuliner Asia Selatan, Asia Tenggara dan Asia Timur.
Terasi adalah bumbu masak yang dibuat dari ikan dan/atau udang rebon
yang difermentasikan, berbentuk seperti adonan atau pasta dan berwarna
hitam-coklat, kadang ditambah dengan bahan pewarna sehingga menjadi
kemerahan. Terasi memiliki bau yang tajam dan biasanya digunakan untuk
membuat sambal terasi, tapi juga ditemukan dalam berbagai resep
tradisional Indonesia.
Di Malaysia, bahan ini diberi nama "belacan" dan di Thailand disebut "kapi". Di Indonesia ada bermacam-macam variasi terasi yang berasal dari berbagai daerah, namun ada satu daerah di Jawa Barat yang sejarahnya berkaitan dengan berdirinya kota itu yakni kota Cirebon.
Naskah-naskah Kuno yang membahas sejarah Cirebon tidak pernah melewatkan bahasan keunggulan terasi Cirebon dan peranan strategisnya dalam perkembangan kawasan Cirebon. Bahkan dalam salah satu versi disebutkan bahwa nama “Cirebon” sendiri berasal dari kata “cai” (air) dan “rebon” (yaitu udang-udang kecil), dua produk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan terasi.
Sambel terasi diketemukan keberadaannya pada abad ke-14 di pemukiman desa Caruban yang berjarak 5 km ke arah selatan dari pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Pemukiman ini dikenal sebagai desa nelayan yang banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar negeri, diantaranya adalah kapal-kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Komoditas yang di perdagangkannya adalah hasil pertanian, garam dan terasi. Dinamakan Caruban berarti "campuran’ dari pribumi dan pendatang". Nama ini kemudian berganti menjadi Cerbon dan berganti lagi menjadi Cirebon.
Dalam versi karya Sulendraningrat “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon”, peran “rebon” dalam sejarah Cirebon mendapati porsi penting. Terasi Cirebon merupakan buah karya dari Pangeran Cakrabumi (Cakrabuana), anak dari Prabu Siliwangi yang dikenal sebagai pendiri Cirebon. Konon sang pangeran diperintahkan gurunya, Ki Gedeng Alang-alang, untuk membuka hutan dan menanam palawija. Setelah itu ia juga diperintahkan untuk mencari rebon dan ikan. Rebon yang ditumbuk untuk menjadi terasi tersebut ternyata bisa disukai banyak orang.
Desa tempat pembuatan terasi ini menjadi tempat yang sangat ramai oleh orang-orang yang mencari produk tersebut. Calon-calon pembeli yang berdesak-desakan tidak sabar dan berteriak “Oga age, geura age, geura bebek” (Cepat, cepatlah ditumbuk). Dari kata inilah akhirnya desa tersebut dinamai “garage” yang berubah menjadi “grage”. Kemudian, mereka berkata dengan bahasa Sunda “aduh, ngeunah teuing garagal teh” (aduh, enak sekali garagal ini). Garagal artinya tumpukan rebon. Ki Cakrabumi menjawab dengan bahasa Sunda pula, “mundak caina” (apalagi airnya). Lalu mereka berteriak minta cai-rebon (air rebon). Kemudian diberi oleh Cakrabumi air rebon dengan nama bumbu petis. Mereka bertambah kenikmatannya sehingga ramailah di antara mereka mengucapkan cai-rebon, cai-rebon. Ucapan ini menjadi buah bibir mereka. Karena itulah , akhirnya, desa tersebut dinamakan desa Cairebonan..
Panganan ini lantas menjadi kesukaan Raja Galuh, ia “terasih” oleh panganan yang dijadikan upeti tahunan oleh Cakrabumi ini. Dari kata “terasih” ini, maka rebon tumbuk itu disebut “terasi”. Dari pengalaman Cakrabumi memasak rebon, ternyata perasan air rebon yang dimasak lebih enak rasanya. Makanan yang disebut “petis blendrang” ini ternyata menjadi populer, sehingga dukuh “grage” itu disebutlah “Cirebon” yang artinya air rebon.
Inovasi sang Pangeran Cakrabuana tersebut, telah menghidupkan kembali perekonomian di daerah. Ia secara tidak langsung menciptakan lapangan kerja yang sebelumnya tidak dilakukan oleh penduduk setempat, yaitu memproses udang rebon menjadi terasi dan petis. Beliau dengan jeli telah menemukan dan memanfaatkan potensi sumber daya alam, berupa rebon yang sangat melimpah pada musim-musim tertentu di Cirebon. Makanan ini juga menjadi favorit orang Cirebon karena sebelumnya mereka hanya tidak memiliki banyak pilihan dalam hal santapan makanan. Mereka terbiasa memakan makanan seperti cacing dan makanan lainnya. Masuknya Islam selain itu juga menyebabkan mereka tidak bisa lagi memakan makanan yang terlarang dalam agama.
Oleh karena itu, penemuan terasi dan produk olahan laut lainnya langsung menjadi favorit bagi penduduk yang baru mengalami transformasi dari agama Hindu ke Islam, dan terkena aturan yang melarang mereka memakan beberapa makanan yang sebelumnya dibolehkan. Bahkan terasi menjadi favorit bagi raja-raja Pajajaran yang saat itu masih memeluk agama Hindu.
Adapun apakah Terasi benar-benar merupakan inovasi sang Prabu Cakrabuana itu masalah lain. Makanan ini sebelumnya telah dikenal di kawasan asia tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran makanan ini ke seluruh kawasan antara lain disebabkan oleh sifatnya yang tahan lama dan praktis untuk dimakan. Konon makanan ini kerap dijadikan bekal oleh para pelaut yang akan melakukan perjalanan panjang dan lama.
Tidak menutup kemungkinan bahwa Pangeran Cakrabuana mempelajari cara pembuatan trasi ini dari orang-orang Cina yang mengadakan perdagangan dengan penduduk Jawa. Sebagaimana diketahui, kontak antara orang Cina dan Jawa telah berlangsung lama sebelum itu, dan sangat dimungkingkan adanya transfer ilmu pengetahuan dan budaya yang menyebabkan masuknya produk-produk luar pulau ke Jawa.
Sejauh ini bisa disimpulkan bahwa sejarah perkembangan Cirebon selama berabad-abad tidak bisa dilepaskan dari peran anugerah Tuhan yang hanya dilimpahkan kepada kawasan itu, berupa udang rebon yang bisa diolah menjadi terasi dengan kualitas utama.
Sumber dan referensi:
- Wikipedia
- Besta Besuki Kertawibawa dalam buku “Pangeran Cakrabuana – Perintis Kerajaan Cirebon"
- M.Ryzki Wiryawan Blog
Di Malaysia, bahan ini diberi nama "belacan" dan di Thailand disebut "kapi". Di Indonesia ada bermacam-macam variasi terasi yang berasal dari berbagai daerah, namun ada satu daerah di Jawa Barat yang sejarahnya berkaitan dengan berdirinya kota itu yakni kota Cirebon.
Naskah-naskah Kuno yang membahas sejarah Cirebon tidak pernah melewatkan bahasan keunggulan terasi Cirebon dan peranan strategisnya dalam perkembangan kawasan Cirebon. Bahkan dalam salah satu versi disebutkan bahwa nama “Cirebon” sendiri berasal dari kata “cai” (air) dan “rebon” (yaitu udang-udang kecil), dua produk yang menjadi bahan utama dalam pembuatan terasi.
Sambel terasi diketemukan keberadaannya pada abad ke-14 di pemukiman desa Caruban yang berjarak 5 km ke arah selatan dari pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Pemukiman ini dikenal sebagai desa nelayan yang banyak disinggahi kapal-kapal dagang dari luar negeri, diantaranya adalah kapal-kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Komoditas yang di perdagangkannya adalah hasil pertanian, garam dan terasi. Dinamakan Caruban berarti "campuran’ dari pribumi dan pendatang". Nama ini kemudian berganti menjadi Cerbon dan berganti lagi menjadi Cirebon.
Dalam versi karya Sulendraningrat “Babad Tanah Sunda, Babad Cirebon”, peran “rebon” dalam sejarah Cirebon mendapati porsi penting. Terasi Cirebon merupakan buah karya dari Pangeran Cakrabumi (Cakrabuana), anak dari Prabu Siliwangi yang dikenal sebagai pendiri Cirebon. Konon sang pangeran diperintahkan gurunya, Ki Gedeng Alang-alang, untuk membuka hutan dan menanam palawija. Setelah itu ia juga diperintahkan untuk mencari rebon dan ikan. Rebon yang ditumbuk untuk menjadi terasi tersebut ternyata bisa disukai banyak orang.
Desa tempat pembuatan terasi ini menjadi tempat yang sangat ramai oleh orang-orang yang mencari produk tersebut. Calon-calon pembeli yang berdesak-desakan tidak sabar dan berteriak “Oga age, geura age, geura bebek” (Cepat, cepatlah ditumbuk). Dari kata inilah akhirnya desa tersebut dinamai “garage” yang berubah menjadi “grage”. Kemudian, mereka berkata dengan bahasa Sunda “aduh, ngeunah teuing garagal teh” (aduh, enak sekali garagal ini). Garagal artinya tumpukan rebon. Ki Cakrabumi menjawab dengan bahasa Sunda pula, “mundak caina” (apalagi airnya). Lalu mereka berteriak minta cai-rebon (air rebon). Kemudian diberi oleh Cakrabumi air rebon dengan nama bumbu petis. Mereka bertambah kenikmatannya sehingga ramailah di antara mereka mengucapkan cai-rebon, cai-rebon. Ucapan ini menjadi buah bibir mereka. Karena itulah , akhirnya, desa tersebut dinamakan desa Cairebonan..
Panganan ini lantas menjadi kesukaan Raja Galuh, ia “terasih” oleh panganan yang dijadikan upeti tahunan oleh Cakrabumi ini. Dari kata “terasih” ini, maka rebon tumbuk itu disebut “terasi”. Dari pengalaman Cakrabumi memasak rebon, ternyata perasan air rebon yang dimasak lebih enak rasanya. Makanan yang disebut “petis blendrang” ini ternyata menjadi populer, sehingga dukuh “grage” itu disebutlah “Cirebon” yang artinya air rebon.
Inovasi sang Pangeran Cakrabuana tersebut, telah menghidupkan kembali perekonomian di daerah. Ia secara tidak langsung menciptakan lapangan kerja yang sebelumnya tidak dilakukan oleh penduduk setempat, yaitu memproses udang rebon menjadi terasi dan petis. Beliau dengan jeli telah menemukan dan memanfaatkan potensi sumber daya alam, berupa rebon yang sangat melimpah pada musim-musim tertentu di Cirebon. Makanan ini juga menjadi favorit orang Cirebon karena sebelumnya mereka hanya tidak memiliki banyak pilihan dalam hal santapan makanan. Mereka terbiasa memakan makanan seperti cacing dan makanan lainnya. Masuknya Islam selain itu juga menyebabkan mereka tidak bisa lagi memakan makanan yang terlarang dalam agama.
Oleh karena itu, penemuan terasi dan produk olahan laut lainnya langsung menjadi favorit bagi penduduk yang baru mengalami transformasi dari agama Hindu ke Islam, dan terkena aturan yang melarang mereka memakan beberapa makanan yang sebelumnya dibolehkan. Bahkan terasi menjadi favorit bagi raja-raja Pajajaran yang saat itu masih memeluk agama Hindu.
Adapun apakah Terasi benar-benar merupakan inovasi sang Prabu Cakrabuana itu masalah lain. Makanan ini sebelumnya telah dikenal di kawasan asia tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Penyebaran makanan ini ke seluruh kawasan antara lain disebabkan oleh sifatnya yang tahan lama dan praktis untuk dimakan. Konon makanan ini kerap dijadikan bekal oleh para pelaut yang akan melakukan perjalanan panjang dan lama.
Tidak menutup kemungkinan bahwa Pangeran Cakrabuana mempelajari cara pembuatan trasi ini dari orang-orang Cina yang mengadakan perdagangan dengan penduduk Jawa. Sebagaimana diketahui, kontak antara orang Cina dan Jawa telah berlangsung lama sebelum itu, dan sangat dimungkingkan adanya transfer ilmu pengetahuan dan budaya yang menyebabkan masuknya produk-produk luar pulau ke Jawa.
Sejauh ini bisa disimpulkan bahwa sejarah perkembangan Cirebon selama berabad-abad tidak bisa dilepaskan dari peran anugerah Tuhan yang hanya dilimpahkan kepada kawasan itu, berupa udang rebon yang bisa diolah menjadi terasi dengan kualitas utama.
Sumber dan referensi:
- Wikipedia
- Besta Besuki Kertawibawa dalam buku “Pangeran Cakrabuana – Perintis Kerajaan Cirebon"
- M.Ryzki Wiryawan Blog