Di masa penjajahan dulu, rumah makan Padang termasuk makanan yang
ekslusif, hanya kaum penjajah dan para saudagar kaya saja yang bisa
menikmati lezatnya rendang, gulai tunjang, kepala ikan kakap, dendeng,
dan kawan-kawan. Bahkan, saudagar kaya yang dimaksud disini adalah
saudagar etnis pendatang (cina) bukan yang pribumi.
Kenapa bisa demikian?
Dimasa penjajahan, daging dan beras termasuk komoditi mahal yang rakyat tidak selalu dapat membeli. Oleh karena itu harga makanan padang menjadi mahal dan hanya para penjajah dan saudagar kaya yg bisa menikmatinya.
Disinilah sejarah itu dimulai, kenapa kalau beli nasi padang, isinya lebih bayak dibungkus daripada makan ditempat.
Para pengusaha rumah makan Padang (pastinya orang minang asli) sadar bahwa saudara-saudaranya juga layak untuk menikmati makanan enak, terlebih lagi makanan khas daerah mereka sendiri. Lebih jauh lagi, para pengusaha ini juga sadar, banyak dari saudara mereka bekerja sebagai buruh kasar untuk para penjajah dan saudagar kaya yang makan di rumah makan mereka, dan saudara mereka ini membutuhkan tenaga dan gizi yang cukup untuk tetap selalu sehat dan bekerja menafkahi keluarga mereka masing-masing.
Entah siapa yang memulai, di suatu waktu, para pengusaha rumah makan ini memberlakukan peraturan baru. Jumlah nasi yang dibeli dengan dibungkus isinya akan jauh lebih banyak daripada makan ditempat. Biaya makan ditempat dibebankan kepada para penjajah dan para saudagar kaya terhadap biaya makan dibungkus untuk para buruh dan para pribumi lain. Inilah yang dijaman modern disebut subsidi silang.
Kebijakan ini oleh para pengusaha disebut dengan Ampera alias Amanat Penderitaan Rakyat. Inilah asalnya kenapa rumah makan Padang di Sumatera Barat disebut dengan RM Ampera (bukan dengan RM Padang). Spirit Ampera ini seperti yang kita lihat, masih terbawa sampai detik ini bahkan sudah menyebar diseluruh Indonesia. Tentu saja, nyaris tidak ada tempat di Indonesia ini dimana daerahnya tidak ada rumah makan Padang. Semua pelosok ada. Semoga spirit Ampera ini terus ada sampai akhir jaman.
Itulah alasan kenapa jumlah nasi yang dibeli dengan dibungkus isinya akan jauh lebih banyak daripada makan ditempat.
Walaupun cerita ini bukan catatan resmi, jadi masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Tapi terlepas dari apakah itu suatu kebenaran, semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
Sumber Referensi:
- Milis Readers Digest Indonesia
- Palanta RantauNet
Kenapa bisa demikian?
Dimasa penjajahan, daging dan beras termasuk komoditi mahal yang rakyat tidak selalu dapat membeli. Oleh karena itu harga makanan padang menjadi mahal dan hanya para penjajah dan saudagar kaya yg bisa menikmatinya.
Disinilah sejarah itu dimulai, kenapa kalau beli nasi padang, isinya lebih bayak dibungkus daripada makan ditempat.
Para pengusaha rumah makan Padang (pastinya orang minang asli) sadar bahwa saudara-saudaranya juga layak untuk menikmati makanan enak, terlebih lagi makanan khas daerah mereka sendiri. Lebih jauh lagi, para pengusaha ini juga sadar, banyak dari saudara mereka bekerja sebagai buruh kasar untuk para penjajah dan saudagar kaya yang makan di rumah makan mereka, dan saudara mereka ini membutuhkan tenaga dan gizi yang cukup untuk tetap selalu sehat dan bekerja menafkahi keluarga mereka masing-masing.
Entah siapa yang memulai, di suatu waktu, para pengusaha rumah makan ini memberlakukan peraturan baru. Jumlah nasi yang dibeli dengan dibungkus isinya akan jauh lebih banyak daripada makan ditempat. Biaya makan ditempat dibebankan kepada para penjajah dan para saudagar kaya terhadap biaya makan dibungkus untuk para buruh dan para pribumi lain. Inilah yang dijaman modern disebut subsidi silang.
Kebijakan ini oleh para pengusaha disebut dengan Ampera alias Amanat Penderitaan Rakyat. Inilah asalnya kenapa rumah makan Padang di Sumatera Barat disebut dengan RM Ampera (bukan dengan RM Padang). Spirit Ampera ini seperti yang kita lihat, masih terbawa sampai detik ini bahkan sudah menyebar diseluruh Indonesia. Tentu saja, nyaris tidak ada tempat di Indonesia ini dimana daerahnya tidak ada rumah makan Padang. Semua pelosok ada. Semoga spirit Ampera ini terus ada sampai akhir jaman.
Itulah alasan kenapa jumlah nasi yang dibeli dengan dibungkus isinya akan jauh lebih banyak daripada makan ditempat.
Walaupun cerita ini bukan catatan resmi, jadi masih bisa diperdebatkan kebenarannya. Tapi terlepas dari apakah itu suatu kebenaran, semoga kita bisa mengambil hikmahnya.
Sumber Referensi:
- Milis Readers Digest Indonesia
- Palanta RantauNet