Masyarakat tradisi Minangkabau sangat peka dan menyadari kondisi
lingkungannya, sebagaimana yang tertuang dalam mamangan adatnya; Alam
Takambang Jadi Guru. Karena itu, berdasarkan keadaan geografisnya,
daerah Minangkabau yang terbagi dua itu; daerah inti (darek) dan daerah
rantau (pesisir barat dan pantai timur) sangat mempengaruhi tingkah
laku, kebiasaan dan jenis makanan yang mereka konsumsi.
Makanan tradisi masyarakat tradisional Minangkabau (baik di darek maupun di rantau) dibedakan berdasarkan kepada aktivitas budaya mereka; makanan tradisi yang dikonsumsi untuk sehari-hari dan makanan tradisi yang dikonsumsi dalam berbagai upacara baik upacara adat maupun upacara agama. Bahan atau materialnya berdasarkan kepada sesuatu yang dekat dengan lingkungannya, yang terdiri dari flora dan fauna. Pada awalnya, belum ada material makanan tradisi yang sengaja dipelihara untuk dikonsumsi.
Material makanan tradisi yang berasal dari tanaman dan tumbuh-tumbuhan antara lain adalah; padi cerai dan pulut disertai dengan kelapa, cempedak, paku, rebung. Sedangkan makanan tradisi yang berasal dari hewan adalah; kerbau, sapi, kambing, ayam, itik, ikan (ikan air tawar terutama di darek dan ikan laut laut untuk di pesisir)
Jenis makanan tradisi terutama yang dihidangkan dalam upacara-upacara adat dan agama terdiri dari makanan pokok: nasi dengan lauk pauknya; daging, ikan dan sayur-sayuran. Parabuang (dessert/makanan penutup) yang terdiri dari kue-kue dengan bahan beras dan beras pulut. Tidak dikenal makanan pembuka (appetiser).
Ciri utama dari laukpauk makanan pokok dan parabuang; umumnya lauk pauknya berasa pedas dengan bumbu yang beragam, sedangkan parabuang umumnya manis. Proses pembuatan lauk pauk dan parabuang tersebut umumnya membutuhkan waktu yang lama. Umumnya lauk-pauk dan parabuang memakai santan kelapa.
Lauk pauk yang dikonsumsi untuk upacara adat berbeda dengan lauk-pauk yang dikonsumsi sehari-hari. Lauk pauk utama untuk upacara adat batagak pangulu adalah: gulai daging sapi dalam dua macam; gulai merah dan gulai putih. Sedangkan parabuangnya; nasi kuning, wajik, gelamai. Makanan untuk upacara agama (acara hari raya Idhul Fitri, Idhul Adha, Maulud Nabi) biasanya; lemang, paniaram. Upacara-upacara yang spesifik seperti acara perkawinan, turun mandi, sunatan makanannya lebih beragam dan tidak meninggalkan jenis makanan yang harus ada.
Lauk pauk untuk makanan sehari-hari umumnya lebih beragam tergantung kepada selera dan kondisi. Tetapi yang jelas, bahwa makanan masyarakat Minangkabau baik makanan sehari-hari atau makanan tradisi, mereka tidak mengenal bumbu-bumbu penyedap, bumbu-bumbu pengawet dan bumbu-bumbu penyegar. Boleh dikata, tanpa disadarinya, mereka telah terbebas dan terhindar dari efek samping bahan-bahan kimia yang kemudian terbukti lebih banyak merusak tubuh dan kesehatan.
Makanan tradisi dibedakan berdasarkan cara pembuatannya; direndang, digulai, dibakar, dilempap, direbus, diulam (makanan mentah)
Cara menghidangkan makanan tradisi dalam upacara adat adalah: langsung menghidangkan makanan pokok dan kemudian baru makanan parabuang. Pola makanan tradisi Minangkabau di Sumatera Barat seperti di atas dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan dalam variasi: material, pengolahan, penyajian dan cita rasa. ***
Sumber Referensi:
Artikel dari Rauda Taib, Ketua I Bundo Kanduang Sumbar
Makanan tradisi masyarakat tradisional Minangkabau (baik di darek maupun di rantau) dibedakan berdasarkan kepada aktivitas budaya mereka; makanan tradisi yang dikonsumsi untuk sehari-hari dan makanan tradisi yang dikonsumsi dalam berbagai upacara baik upacara adat maupun upacara agama. Bahan atau materialnya berdasarkan kepada sesuatu yang dekat dengan lingkungannya, yang terdiri dari flora dan fauna. Pada awalnya, belum ada material makanan tradisi yang sengaja dipelihara untuk dikonsumsi.
Material makanan tradisi yang berasal dari tanaman dan tumbuh-tumbuhan antara lain adalah; padi cerai dan pulut disertai dengan kelapa, cempedak, paku, rebung. Sedangkan makanan tradisi yang berasal dari hewan adalah; kerbau, sapi, kambing, ayam, itik, ikan (ikan air tawar terutama di darek dan ikan laut laut untuk di pesisir)
Jenis makanan tradisi terutama yang dihidangkan dalam upacara-upacara adat dan agama terdiri dari makanan pokok: nasi dengan lauk pauknya; daging, ikan dan sayur-sayuran. Parabuang (dessert/makanan penutup) yang terdiri dari kue-kue dengan bahan beras dan beras pulut. Tidak dikenal makanan pembuka (appetiser).
Ciri utama dari laukpauk makanan pokok dan parabuang; umumnya lauk pauknya berasa pedas dengan bumbu yang beragam, sedangkan parabuang umumnya manis. Proses pembuatan lauk pauk dan parabuang tersebut umumnya membutuhkan waktu yang lama. Umumnya lauk-pauk dan parabuang memakai santan kelapa.
Lauk pauk yang dikonsumsi untuk upacara adat berbeda dengan lauk-pauk yang dikonsumsi sehari-hari. Lauk pauk utama untuk upacara adat batagak pangulu adalah: gulai daging sapi dalam dua macam; gulai merah dan gulai putih. Sedangkan parabuangnya; nasi kuning, wajik, gelamai. Makanan untuk upacara agama (acara hari raya Idhul Fitri, Idhul Adha, Maulud Nabi) biasanya; lemang, paniaram. Upacara-upacara yang spesifik seperti acara perkawinan, turun mandi, sunatan makanannya lebih beragam dan tidak meninggalkan jenis makanan yang harus ada.
Lauk pauk untuk makanan sehari-hari umumnya lebih beragam tergantung kepada selera dan kondisi. Tetapi yang jelas, bahwa makanan masyarakat Minangkabau baik makanan sehari-hari atau makanan tradisi, mereka tidak mengenal bumbu-bumbu penyedap, bumbu-bumbu pengawet dan bumbu-bumbu penyegar. Boleh dikata, tanpa disadarinya, mereka telah terbebas dan terhindar dari efek samping bahan-bahan kimia yang kemudian terbukti lebih banyak merusak tubuh dan kesehatan.
Makanan tradisi dibedakan berdasarkan cara pembuatannya; direndang, digulai, dibakar, dilempap, direbus, diulam (makanan mentah)
Cara menghidangkan makanan tradisi dalam upacara adat adalah: langsung menghidangkan makanan pokok dan kemudian baru makanan parabuang. Pola makanan tradisi Minangkabau di Sumatera Barat seperti di atas dalam perkembangannya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan dalam variasi: material, pengolahan, penyajian dan cita rasa. ***
Sumber Referensi:
Artikel dari Rauda Taib, Ketua I Bundo Kanduang Sumbar