".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 1 August 2014

Sejarah Sambal

Sambal adalah saus dengan bahan utama yang disiapkan dari cabai yang dilumatkan sehingga keluar kandungan sari cabe yang berasa pedas dan ditambah bahan-bahan lain seperti garam dan terasi. Sambal merupakan salah satu unsur khas hidangan Indonesia, Melayu ditemukan pula dalam kuliner Asia Selatan dan Asia Timur. Ada bermacam-macam variasi sambal yang berasal dari berbagai daerah serta sambal mempunyai konsistensi yang lebih padat salsa dan mengandung lebih banyak rempah-rempah. Sambal dapat bervariasi dari kurang pedas hingga sangatlah pedas tergantung seberapa banyak buah cabe yang digunakan.

Sambal dan cabai yang jadi bahan bakunya tak bisa dilepaskan dari keseharian orang Indonesia. Nyaris setiap daerah memiliki versi sambal masing-masing, juga beragam hidangan yang diolah dengan bumbu cabai. Sambal begitu populer di Nusantara dan nyaris menjadi makanan utama, bukan sekedar pelengkap. Hal ini dikarenakan seni kuliner Nusantara bersifat koud eten (hidangan dingin). Cabai menjadi penting dalam setiap masakan karena rasa pedas cabe tidak hanya memberikan rasa yang menggugah selera tetapi juga sebagai pengganti temperatur panas.

Sambal diletakkan di pinggiran piring kemudian ayam, daging, atau sayuran dicocolkan ke sambal. Nikmat rasanya dengan sensasi pedas. Makanya ada yang bilang, belum lengkap kalau makan tidak pakai sambal. Kenikmatan makan pun makin sempurna dengan cucuran keringat, dan muka yang memerah karena kepedasan. Hampir di seluruh pelosok Nusantara memiliki resep makanan sambal. Di Bali, kita mengenal sambal embe, sambal dabu-dabu dan rica dari Manado, sambal kenari dari Maluku, sambal tempoyak yang dibuat dari fermentasi durian dari Sumatera, dan banyak lagi, seperti sambal bajak atau sambal terasi.

Meskipun merupakan makanan asli Indonesia, namun tanaman cabai yang menjadi bahan utama sambal bukan asli dari Indonesia. Tanaman itu dibawa oleh para penjelajah Barat dari benua Amerika yang kemudian ditanam di sini. Sambal yang diulek di atas cobek batu dengan rasanya yang pedas bagi sebagian masyarakat Indonesia bukan sekadar makanan pelengkap.

Dalam peradaban manusia, cabai sudah ada setidaknya sejak 6.000 tahun silam. Ini terungkap dalam sebuah laporan berjudul Starch Fossil and the Domestication and Dispersal of Chili Peppers (Capsicum spp.L.) in the Americas, hasil penelitian sekelompok ilmuwan yang dikepalai Linda Perry dari Smithsonian Institution.

Kesimpulan itu didasarkan atas temuan mikrofosil bubuk cabai dalam hidangan suku Indian Zapotec yang ditemukan di tujuh lokasi berbeda di Kepulauan Bahama hingga bagian selatan Peru. Orang-orang di masa itu biasa menyimpan cabai dalam keadaan segar atau mengeringkannya terlebih dahulu untuk kemudian menggunakannya untuk bumbu beragam masakan.

Sementara sambal ditemukan dalam hidangan Indian Maya, salah satu suku di Amerika Latin. Mereka diperkirakan mulai menciptakan salah satu versi sambal pertama di dunia sekira 1.500-1.000 SM. Bubuk cabai dicampur dengan air dan bahan-bahan lain agar citarasanya lebih nikmat. Versi sambal sederhana itu kemudian menjadi pelengkap makan Tortilla, sejenis roti pipih yang terbuat dari jagung giling atau gandum.

Di kalangan suku-suku purba di Amerika Latin, cabai memiliki posisi penting. Dalam America’s First Cuisines, ahli sejarah makanan Sophie Dobhanzsky Coe menulis bahwa cabai ada nyaris di setiap tempat di Amerika Latin. Suku-suku asli nyaris tak pernah lupa membubuhkan cabai ke dalam makanan mereka. Bagi orang-orang Aztec, cabai adalah salah satu bentuk kenikmatan hidup. Catatan yang dibuat pendeta Fransiscan, Bernardino de Sahagun, pada 1529 menunjukkan, ketika para pendeta Aztec berpuasa untuk memuja para dewa, ada dua hal yang wajib dihindari: seks dan cabai.

Arkeolog Titi Surti Nastiti mengungkapkan bahwa cabai pada masa Jawa Kuno telah menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual. Bahkan menurut Nastiti dalam teks Ramayana dari abad ke-10, cabai juga sudah disebut sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan.

Dalam buku resep lama, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek karya J.M.J Catenius van der Meijden (1903) yang juga buku pegangan wajib para perempuan Belanda sebelum datang ke Hindia, tercantum resep “Sambal Bajak”. Sambal ini berpenampilan kasar, persis sawah yang baru dibajak. Atau “Sambal Serdadu”, sambal terasi yang khusus disiapkan untuk bekal para serdadu pada saat ekspedisi atau bertempur. Bahkan pada masa itu, para keluarga Indo ada yang gemar mengoleskan sambal sebagai beleg (isi roti) di atas rotinya.

Suryatini N Ganie (2009) mencatat sekurangnya ada 100 variasi makanan yang dibuat dari sambal. Ini menunjukkan betapa kayanya jenis kuliner Nusantara. Masih menurut cerita Jj Rizal, pada zaman kolonial, baboe rumah tangga yang paling mahal harganya adalah yang paling pandai membuat sambal.

Tidak jarang, tuan-tuan Belanda yang pulang ke negerinya membawa serta baboenya yang pandai membuat sambal itu. Lalu dengan keahliannya membuat sambal, para baboe itu kemudian membuka rumah makan indies di Belanda. Seiring dengan demam revolusi industri yang melanda Eropa pada abad ke-19, semua kegiatan produksi dibuat secara massal dan efisien.

Ini termasuk dalam membuat sambal. Masyarakat Eropa ingin merasakan sensasi pedas, namun tak mampu membuat sambal dengan menggunakan cobek batu. Mereka kemudian memodifikasi sambal ulek menjadi saus sambal dan saus tomat yang dikemas ke dalam botol. Namun, lidah tidak bisa berbohong, sensasi makan sambal ulek dengan saus botolan tentunya berbeda.

Itu sebabnya di setiap pedagang bakso, selain menyediakan saus sambal juga menyediakan sambal ulek, karena belum lengkap kalau belum makan sambal. Saus sambal bagi sebagian masyarakat Indonesia bukanlah sambal yang asli. Selain sensasi kenikmatan kuliner, sambal juga memiliki kenangan kelam.

Cabai juga pernah dijadikan senjata dalam perang. Sophie Dobhanzsky Coe mengisahkan bagaimana orang-orang Indian menyerang benteng yang dibangun Christopher Colombus di Pulau Santo Domingo dengan melontarkan buah-buah labu yang diisi campuran abu kayu dan cabai yang ditumbuk. Orang-orang Indian Aztec menggunakan asap cabai sebagai semacam senjata kimia. Asap cabai yang dibakar juga dipakai sebagai disinfektan sekaligus obat antiserangga yang konon amat mujarab.

Penyebaran cabai ke seluruh dunia dipelopori Christopher Colombus. Ketika bertolak pulang ke Spanyol dari Amerika Latin, Colombus membawa biji-biji cabai untuk dipersembahkan kepada Ratu Isabella dari Spanyol. Sebetulnya Colombus salah kira bahwa yang dia bawa adalah lada hitam, yang saat itu merupakan komoditas sangat mahal. Bagi Colombus rasa keduanya tak jauh berbeda. Dari Spanyol biji cabai mulai merambah Eropa lalu dunia.

Manguelonne Toussain-Samat dalam A History of Food menulis, untuk perut orang Eropa yang sensitif rasa cabai agak terlalu panas. Cabai tak digunakan dalam makanan. Orang Jerman dan Prancis bagian utara menggunakan sejumlah kecil cabai untuk menambah rasa ke dalam bir sekaligus mengawetkannya. Orang Inggris menggunakannya untuk membuat acar. Tapi di Afrika, Arab, dan Asia, cabai menjadi komoditas yang sangat populer. Cabai meresap dan melengkapi berbagai hidangan dan makanan.

Menurut Wendy Hutton dalam Tropical Herbs and Spices of Indonesia, orang-orang Portugis-lah yang membawa dan memperkenalkan biji-biji cabai ke Indonesia pada abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Namun ada beberapa indikasi bahwa cabai sudah dikenal di Indonesia jauh sebelumnya. Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VII-XIV mengungkapkan, teks Ramayana abad ke-10 telah menyebut cabai sebagai salah satu contoh jenis makanan pangan. Di masa Jawa Kuno, cabai juga menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual.

Di masa VOC, sambal juga cukup populer di kalangan orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia. Ragam sambal menjadi bagian dari risjttafel - set hidangan komplet berisi nasi, lauk-pauk, dan sayuran khas Indonesia. Risjttafel tergolong makanan mewah saat itu. Selain itu ada juga orang-orang Indo yang alih-alih mengoleskan selai lebih suka mengoleskan sambal di atas roti mereka.

Selain lezat dihidangkan, cabai juga pernah dijadikan bentuk hukuman yang menyakitkan. Di zaman kolonial, sambal pun dapat digunakan sebagai alat hukuman. Sejarawan Jan Breman dalam Taming the Coolie Beast: Plantation Society and the Colonial Order in Southeast Asia mengisahkan deraan yang diberikan kepada para kuli perkebunan, terutama perempuan, di Tanah Deli yang melakukan kesalahan. Karena menolak cinta salah seorang mandor perkebunan dan lebih memilih kekasihnya - yang juga kuli, seorang kuli perempuan berusia 15 tahun diikat telanjang di sebilah tonggak selama berjam-jam. Agar dia tak pingsan, alat kelaminnya dibaluri cabai yang rasa pedihnya tidak hilang meski dibasuh air berkali kali. Sebaliknya para budak yang mahir membuat sambal mendapatkan tempat khusus karena disenangi para majikannya. Hal tersebut membuat harga pasaran mereka menjadi cukup tinggi.

Hingga saat ini cabai dan sambal tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kebiasaan makan orang Indonesia.

Artikel Referensi dari:
- Wikipedia
- Blog Fahmi Akbar
- Devi Fitria, Historia
- Sejarah Bangsa Indonesia dan berbagai sumber lainnya sebagai bahan referensi perbandingan