".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday 1 August 2014

Sejarah Tempe

Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe".

Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.

Menelusuri ejarah tempe tak bisa lepas dari bahan bakunya, kedelai. Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Mary Astuti dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, kata kedelai yang ditulis kadêlê dalam bahasa Jawa ditemukan dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12 atau 13).

Selain dalam serat legenda kota Banyuwangi itu, kata kedelai juga dijumpai dalam Serat Centhini, yang ditulis oleh juru tulis keraton Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno pada 1814. Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 (Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah ditemukan kata "tempe", misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan.

Pada jilid kedua naskah Serat Centhini ini digambarkan perjalanan Cebolang dari Purbalingga menuju Mataram, kemudian singgah di rumah Ki Amongtrustha, yang menjamu makan malam dengan lauk bubuk dhele. Di Mataram, Cebolang diberitahu bahwa sesaji dalam kacar-kucur, yakni upacara persiapan menikahkan anak, terdapat kacang kawak (lama) dan kedelai kawak, beras kuning, bunga, dan uang logam.

Sebagai catatan serat centhini ditulis sekitar tahun 1805 dengan sponsor Pakubuwono V yang mengharapkan kitab ini bisa menjadi semacam ensiklopedi gaya hidup, pandangan spiritual dan tatanan dialektis masyarakat Jawa serta sebagai referensi cerita rakyat.

Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut. Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa - mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.

Menurut naturalis Jerman, Rumphius, tanaman kedelai (de cadelie plant) dalam bahasa latin disebut phaseolus niger, kadêlê (Jawa), zwartee boontjes (Belanda), dan authau (Tiongkok). Hasil amatan Rumphius, orang Tionghoa tidak mengolah kedelai menjadi tempe. Tapi, mengolah biji kedelai hitam tersebut menjadi tepung, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentuk pipih. Karena kacang dalam bahasa Tiongkok disebut duo (tao)/to, produk olahannya dinamai dengan awalan tau: tauchu (taoco), tau-hu (tahu), touya (toge), touzi (tauci), dan lain-lain.

Berdasarkan penelitian genetik, kedelai berasal dari Tiongkok, meski tidak ada keterangan apakah jenisnya kedelai hitam atau kuning. Menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam “Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia,” Kompas, 1 Januari 2000, kacang kedelai sudah sejak 5.000 tahun lalu dikenal di Tiongkok.

Namun, Mary Astuti mempertanyakannya: jika berasal dari Tiongkok mengapa kedelai tidak pernah disebutkan dalam jenis-jenis komoditas yang diperdagangkan di Jawa. Musafir Tiongkok, Ma Huan yang mengunjungi Majapahit sekira abad ke-13, mencatat bahwa di Majapahit terdapat koro podang berwarna kuning, tanpa menjelaskan kegunaan kacang tersebut. Dia tidak membandikan kacang itu dengan kacang yang ada di negerinya, seperti halnya membandingkan suhu udara di Majapahit dengan di Tiongkok. Ini menunjukkan, kacang yang ditemui Ma Huan belum ada di negerinya.

“Diduga bahwa kedelai hitam sudah ditanam di Jawa sebelum China datang ke Tanah Jawa,” tulis Astuti. “Menurut anggapan orang Jawa zaman dulu kata dêlê berarti hitam. Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di tanah Jawa sebelum orang Hindu datang dan kemungkinan dibawa orang Tamil.”

Penemuan tempe berhubungan erat dengan produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. Tahu sendiri dibawa oleh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak abad ke-l7. “Bukan hanya bahannya yang sama, akan tetapi mungkin juga secara langsung penemuan tempe berkaitan dengan produksi tahu,” tulis Ong.

“Tempe muncul dari kedelai buangan pabrik tahu yang kemudian dihinggapi kapang. Kemudian jadi tempe kedelai,” kata wartawan spesialis sejarah pangan, Andreas Maryoto. “Ini saya kaitkan karena tempe yang lain berasal dari limbah: tempe gembus dari limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa. Bila kemudian tempe kedelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu upgrade saja,” sambungnya.

Ong kemudian mengaitkan perkembangan tempe dengan kepadatan penduduk, baik di Tiongkok maupun di Jawa. Kepadatan penduduk sejak berabad-abad telah mempengaruhi seni masak Tiongkok. Akibat kepadatan penduduk terjadi persaingan ruang antara manusia dan hewan yang memerlukan ladang-ladang rumput luas bagi hidupnya. Akibatnya, seni masak Tiongkok berkisar pada hewan peliharaan rumah seperti babi, ayam, bebek, dan sebagainya.

Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan Jawa. Pekarangan menyediakan bahan baku makanan seperti ayam, kambing, sayur-sayuran, pohon kelapa, dan lain-lain. “Baru dalam abad ke-l9, menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Ini akibat kenaikan jumlah penduduk yang amat tinggi pada abad ke-19, sehingga Pulau Jawa menjadi wilayah pertama yang sangat padat di Asia Tenggara,” tulis Ong.

Di sisi lain, lanjut Ong, meluasnya perkebunan kolonial membuat wilayah hutan menciut dan  membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berburu, beternak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang Jawa yang tanpa daging. Tanam paksa makin membuat bahan makanan seperti tempe menjadi sangat vital sebagai penyelamat kesehatan penduduk. “Bisa dikatakan,” tulis Ong, “penemuan tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Sayangnya, seperti halnya banyak penemuan makanan sebelum zaman paten, maka penemu tempe pun anonim,” lanjutnya.

Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa - Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa, dimana tempe menjadi makanan yang amat terkenal setelah krisis pangan pasca Perang Diponegoro, saat itu Van Den Bosch menerapkan kerja rodi, seluruh rakyat diharuskan menanam tanam-tanaman perkebunan seperti tebu dan karet, dan ini semakin merusak unsur hara tanah. Di masa itu tempe menjadi semacam makanan wajib. Rakyat yang kelaparan dan kehilangan padi-nya gara-gara harus berebut jam kerja dengan kewajiban rodi, memakan makanan yang dihasilkan dari tanaman yang gampang tumbuh seperti : ubi, singkong dan kedelai, sebagai sumber pangan. Kedelai ini diolah menjadi tempe, salah satu versi sejarah menyatakan bahwa tempe ditemukan pada era tanam paksa, tahun 1875 dengan meniru makanan Cina yang bernama Koji, kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang.

Tempe menjadi penyelamat bangsa Eropa yang ditawan Jepang, saat itu Jepang masuk ke Indonesia dan mencari orang-orang Belanda untuk dimasukkan ke kamp kerja paksa dan dipenjara. Dalam penjara mereka dikasih makan tempe, ternyata tempe itu yang membuat para interniran londo itu bertahan hidup, sebab-nya tempe memiliki kandungan protein yang amat tinggi.

Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.

Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa Jawa kuno, yakni tumpi, makanan berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih. “Tempe berasal dari kata Nusantara tape, yang mengandung arti fermentasi, dan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia.

Kata tempe juga ditemukan dalam Serat Centhini jilid ketiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir di dusun Tembayat wilayah Kabupaten Klaten dan dijamu makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya: “…brambang jae santen tempe … asem sambel lethokan …” sambel lethok dibuat dengan bahan dasar tempe yang telah mengalami fermentasi lanjut.  Pada jilid 12 kedelai dan tempe disebut bersamaan: “…kadhele tempe srundengan…”

Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu,dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg. Tempe merupakan industri-industri yang berkembang amat merakyat, murah harganya dan menjadi ciri khas paling dasar bangsa Indonesia, kebanyakan orang Indonesia memang suka dengan tempe.

Saking merakyatnya masakan ini, pernah tempe menjadi sangat inferior dalam kedudukan gengsi sosial bangsa kita. Para priyayi bangsawan senengnya makan Beef Steak, yang menempatkan tempe sebagai makanan kelas rendahan. Bung Karno sendiri pernah berteriak di depan ratusan ribu pendengarnya : “Janganlah kita sekali-sekali menjadi bangsa Tempe”. Disini Bung Karno bukan berteriak soal tempe sebagai makanan inferior bangsa kita, tapi sebagai ‘makanan yang diinjak-injak’. Namun bagi bagian banyak orang quotes ini dikenang sebagai ‘Rasa Inferioritas Tentang Tempe sebagai makanan”.

Menurut Ong, dalam Encyclopaedia van Nederlandsch Indie (l922), tempe disebut sebagai “kue” yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan (volk’s voedsel). Disebut makanan kerakyatan, kata Maryoto, karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. “Karena itu, muncul istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan priyayi,” ujar Maryoto. “Sekarang tempe tidak lagi sebagai makanan rakyat,” Maryoto menambahkan. “Pamor tempe semakin terangkat ketika gairah kuliner meningkat, sehingga tempe manjadi makanan kita semua.”

Lambang kemakmuran bangsa Indonesia adalah terhidangnya ayam goreng, semur daging atau ikan-ikan air tawar seperti ikan gurame dan ikan mas. Tempe dianggap sebagai bagian ‘makanan prihatin’. Tapi susah memisahkan Tempe dan juga Tahu ke dalam meja makanan orang Indonesia, kalau makan orang Indonesia itu ada empat hal : Nasi, Tempe, Tahu dan Kerupuk.

Namun perlu diketahui bahwa tempe juga ada di luar negeri. Indonesia memang tercatat sebagai produsen tempe terbesar di dunia. Indonesia memproduksi 50% dari jumlah tempe di seluruh dunia. Di luar negeri, tempe lebih dikenal sebagai Tempeh. Penyebaran Tempe di luar negeri pada awalnya dimulai di benua Eropa.

 Tempe di Eropa pertama kali diperkenalkan di Belanda pada tahun 1895 oleh Prinseen Gerling, seorang ahli mikrobiologi yang mempelajari ilmu tentang tempe dari para imigran Indonesia. Setelah itu, mulai banyak perusahaan-perusahaan tempe yang bermunculan di Belanda dan kemudian meluas ke Eropa. Tempe kemudian mulai populer di Eropa pada tahun 1956-an.

Sedangkan di Benua Amerika, tempe diperkenalkan oleh Yap Bwee Hwa pada tahun 1958. Penyebaran tempe di Amerika ini sangat besar hal ini dikarenakan Amerika adalah negara multidimensional, sehingga penyebaran mudah meluas di benua ini.

Walaupun begitu, menurut para penikmat kuliner dunia, tempe yang paling enak dan lezat adalah tempe dari indonesia. Hal ini dikarenakan adanya sensasi aroma daun pisang yang sering digunakan sebagai bungkus tempe, lain halnya dengan tempe-tempe di luar negeri yang menggunakan plastik sebagai bungkus tempenya.

Artikel Referensi dari:
- Wikipedia
- Hendri F Isnaeni, Majalah Historia
- Blog Tareqi Eldian