Artikel ini diambil dari catatan Tya (4 Maret 2005) atas dasar referensi
tulisan Myra Sidharta "Jalansutra" tentang Masakan Nyonya di Malaysia
dan Singapura. Dalam tulisan itu dapat diketahui bagaimana masakan
Tionghoa dikawinkan dengan masakan Melayu menjadi Masakan Nyonya.
Sedikit santan dan sedikit terasi sudah cukup untuk mengubah citarasa
hingga cocok untuk selera orang Melayu.
Selera Tionghoa ternyata juga mempunyai pengaruh kuat terhadap masakan Nusantara. Ini tentu mempunyai sejarah panjang, tulis Myra Sidharta. Pada tahun 1225, seorang syahbandar bernama Zhao Rugua menulis buku berjudul Zhufan shi (Penuntun untuk ke Luar Negeri). Nasihatnya, sebelum bicara soal dagang, khususnya di Brunei, sebaiknya suguhkan dulu masakan lezat. Karena itu, kapal-kapal misi dagang ke luar negeri pada masa itu selalu membawa jurumasak ulung.
Di Bali hingga kini masih banyak pura yang mempunyai kuil khusus untuk menghormati Cong Po Kong, nenek moyang para jurumasak. Ketika survai di sana, Myra menemukan satu kuil penting di Pura Ulun, Danau Batur, Kintamani. Ia menemukan hal yang sama di dua tempat lain, yaitu di Pura Teluk Biu, juga di Danau Batur, dan satunya lagi di sebuah wihara di Gianyar.
Konon, Pura Ulun dibangun untuk memperingati jurumasak Laksamana Zheng-he yang terkenal (kadang-kadang juga disebut Cheng Ho). Laksamana Zheng-he ini memang terkenal karena muhibahnya ke pulau- pulau di Nusantara pada awal abad ke-15.
Alkisah, jurumasak ini sedang berperahu mencari rempah-rempah ke pulau-pulau dekat Pulau Jawa. Badai dan topan menyerang, menghancurkan perahunya, sehingga ia tidak bisa kembali ke pangkalannya di Semarang. Ia berdoa minta bantuan. Malaikat datang membantunya, dan berjanji akan "menerbangkannya" kembali ke Semarang. Syaratnya, jurumasak tidak boleh melihat ke bawah sepanjang "penerbangan" itu. Tetapi, ia ingkar janji. Ia melirik ke bawah ketika melihat keindahan alam Kintamani. Akibatnya, ia dijatuhkan di sana.
Sang Jurumasak tidak keberatan tinggal di tempat yang asri itu. Di sakunya masih ada sebiji lychee, kacang tanah, dan bawang putih. Ketiga biji itu ditanamnya. Konon, dengan ketiga unsur itulah ia mengubah menu makanan orang Bali sejak saat itu.
Sang Jurumasak kemudian menikah dengan perempuan setempat, dan mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Setelah dewasa, putri cantik ini dipersunting Raja. Mungkin Sang Raja sering dimanja oleh sang Jurumasak dengan masakan-masakannya yang istimewa. Sepeninggalnya, Sang Putri diizinkan membangun kuil kecil di dalam puri. Kuil inilah yang hingga sekarang masih diziarahi orang. Belum lama ini bahkan sudah dipugar dan diperbesar.
Menurut Dr Claude Guillot, seorang sejarahwan Perancis, di Banten Girang juga ditemui makam jurumasak asal Tiongkok yang dulu bekerja sebagai jurumasak seorang raja Hindu di sana. Ketika Banten menjadi Kerajaan Islam, jurumasak itu bekerja untuk Raja Hasanudin dari Banten.
Orang Tionghoa memang terkenal dalam pencarian mereka terhadap bahan dan bumbu masak eksotis. Untuk mendapatkannya, mereka tak segan menentang badai dan alam yang ganas. Tidak heran bila dalam menu mereka didapati elemen-elemen kuliner langka seperti sarang burung, teripang, hisit atau sirip hiu, cakar beruang, daging ular, otak monyet, dan masih banyak lagi yang tidak berani kita impikan. Berdasarkan temuan dari kapal-kapal yang kandas di perairan dekat pulau-pulau Bangka dan Belitung, terungkap bukti bahwa orang Tionghoa sudah mencari bumbu dan bahan eksotis itu sejak zaman dinasti Tang (619-920).
Cara memasak pun harus mengikuti teknik tertentu. Karena itu alat-alat memasak merupakan bagian penting dalam rumah tangga orang Tionghoa. Beberapa alat masak itu juga jamak ditemukan di Indonesia. Misalnya, tungku arang yang disebut anglo. Ini sebetulnya berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti tungku angin. Alat ini biasanya terbuat dari tanah liat dengan lubang-lubang angin untuk menghidupkan bara arang. Bila tidak ada angin, maka api harus dikipas agar arang membara.
Wajan penggorengan juga sebenarnya berasal dari Tiongkok. Namanya wok yang bahkan sekarang nama itu populer di seluruh dunia. Dasarnya bulat hingga panasnya bisa merata. Dengan wok kita bisa menggoreng, menumis, bahkan juga mengukus. Tim ikan biasanya dikukus dalam wok karena tidak ada panci yang cukup besar untuk mengukus ikan utuh.
Tahu dan taoge kini telah mengalami globalisasi. Tidak hanya di kedai- kedai Chinatown, tetapi bahkan sudah masuk ke supermarket di seluruh dunia. Konon, masakan Itali juga berubah drastis setelah Marco Polo memperkenalkan mi dan pangsit yang dibawanya dari Tiongkok. Kini, mi dan pangsit punya saudara kembar di Italia. Namanya spaghetti dan ravioli. Mi merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia. Ada Mi Binjai, Mi Bangka, Mi Pontianak, Mi Kebumen, Mi Medan, mi Keriting, dan masih banyak lagi. Masing-masing punya kekhasannya sendiri.
Sudah sejak lama dim sum populer di Indonesia, juga di kota-kota metropolitan dunia lainnya. Dim sum adalah makanan kecil mirip kue-kue basah yang biasanya dihidangkan untuk makan pagi, makan siang, atau brunch (antara sarapan dan makan siang, antara breakfast dan lunch). Arti harfiahnya "titik hati". Variasi dim sum sangat banyak, dan inilah yang membuatnya memikat. Sangat banyak pilihan. Ada semacam lumpia dari kembang tahu yang diisi udang dan ikan, cakar ayam dimasak dengan cabe, ketan berisi campuran daging-kacang-telur asin yang dikukus dalam bungkus daun teratai, daging iga dikukus dengan tauco, dan banyak lagi. Yang paling terkenal, tentu saja, adalah bakpau dan siomay.
Jauh sebelum dim sum populer di Indonesia, bakpau dan siomay sudah lebih dulu populer. Di berbagai kota besar Indonesia, bakpau dijajakan keliling kota dengan gerobak dorong dalam kukusan besar agar selalu hangat. Bakpau yang dijajakan keliling kota ini berisi daging ayam, kacang merah, atau kacang hijau. Di Jakarta siomay dijajakan oleh
penjaja bersepeda dan sangat populer di segala lapisan sosial. Ibu-ibu yang sedang ditata rambutnya di salon mahal, tidak segan memesan siomay dari penjaja bersepeda.
Terima kasih, Myra Sidharta, atas catatan di atas.
Selera Tionghoa ternyata juga mempunyai pengaruh kuat terhadap masakan Nusantara. Ini tentu mempunyai sejarah panjang, tulis Myra Sidharta. Pada tahun 1225, seorang syahbandar bernama Zhao Rugua menulis buku berjudul Zhufan shi (Penuntun untuk ke Luar Negeri). Nasihatnya, sebelum bicara soal dagang, khususnya di Brunei, sebaiknya suguhkan dulu masakan lezat. Karena itu, kapal-kapal misi dagang ke luar negeri pada masa itu selalu membawa jurumasak ulung.
Di Bali hingga kini masih banyak pura yang mempunyai kuil khusus untuk menghormati Cong Po Kong, nenek moyang para jurumasak. Ketika survai di sana, Myra menemukan satu kuil penting di Pura Ulun, Danau Batur, Kintamani. Ia menemukan hal yang sama di dua tempat lain, yaitu di Pura Teluk Biu, juga di Danau Batur, dan satunya lagi di sebuah wihara di Gianyar.
Konon, Pura Ulun dibangun untuk memperingati jurumasak Laksamana Zheng-he yang terkenal (kadang-kadang juga disebut Cheng Ho). Laksamana Zheng-he ini memang terkenal karena muhibahnya ke pulau- pulau di Nusantara pada awal abad ke-15.
Alkisah, jurumasak ini sedang berperahu mencari rempah-rempah ke pulau-pulau dekat Pulau Jawa. Badai dan topan menyerang, menghancurkan perahunya, sehingga ia tidak bisa kembali ke pangkalannya di Semarang. Ia berdoa minta bantuan. Malaikat datang membantunya, dan berjanji akan "menerbangkannya" kembali ke Semarang. Syaratnya, jurumasak tidak boleh melihat ke bawah sepanjang "penerbangan" itu. Tetapi, ia ingkar janji. Ia melirik ke bawah ketika melihat keindahan alam Kintamani. Akibatnya, ia dijatuhkan di sana.
Sang Jurumasak tidak keberatan tinggal di tempat yang asri itu. Di sakunya masih ada sebiji lychee, kacang tanah, dan bawang putih. Ketiga biji itu ditanamnya. Konon, dengan ketiga unsur itulah ia mengubah menu makanan orang Bali sejak saat itu.
Sang Jurumasak kemudian menikah dengan perempuan setempat, dan mempunyai seorang putri yang sangat cantik. Setelah dewasa, putri cantik ini dipersunting Raja. Mungkin Sang Raja sering dimanja oleh sang Jurumasak dengan masakan-masakannya yang istimewa. Sepeninggalnya, Sang Putri diizinkan membangun kuil kecil di dalam puri. Kuil inilah yang hingga sekarang masih diziarahi orang. Belum lama ini bahkan sudah dipugar dan diperbesar.
Menurut Dr Claude Guillot, seorang sejarahwan Perancis, di Banten Girang juga ditemui makam jurumasak asal Tiongkok yang dulu bekerja sebagai jurumasak seorang raja Hindu di sana. Ketika Banten menjadi Kerajaan Islam, jurumasak itu bekerja untuk Raja Hasanudin dari Banten.
Orang Tionghoa memang terkenal dalam pencarian mereka terhadap bahan dan bumbu masak eksotis. Untuk mendapatkannya, mereka tak segan menentang badai dan alam yang ganas. Tidak heran bila dalam menu mereka didapati elemen-elemen kuliner langka seperti sarang burung, teripang, hisit atau sirip hiu, cakar beruang, daging ular, otak monyet, dan masih banyak lagi yang tidak berani kita impikan. Berdasarkan temuan dari kapal-kapal yang kandas di perairan dekat pulau-pulau Bangka dan Belitung, terungkap bukti bahwa orang Tionghoa sudah mencari bumbu dan bahan eksotis itu sejak zaman dinasti Tang (619-920).
Cara memasak pun harus mengikuti teknik tertentu. Karena itu alat-alat memasak merupakan bagian penting dalam rumah tangga orang Tionghoa. Beberapa alat masak itu juga jamak ditemukan di Indonesia. Misalnya, tungku arang yang disebut anglo. Ini sebetulnya berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti tungku angin. Alat ini biasanya terbuat dari tanah liat dengan lubang-lubang angin untuk menghidupkan bara arang. Bila tidak ada angin, maka api harus dikipas agar arang membara.
Wajan penggorengan juga sebenarnya berasal dari Tiongkok. Namanya wok yang bahkan sekarang nama itu populer di seluruh dunia. Dasarnya bulat hingga panasnya bisa merata. Dengan wok kita bisa menggoreng, menumis, bahkan juga mengukus. Tim ikan biasanya dikukus dalam wok karena tidak ada panci yang cukup besar untuk mengukus ikan utuh.
Tahu dan taoge kini telah mengalami globalisasi. Tidak hanya di kedai- kedai Chinatown, tetapi bahkan sudah masuk ke supermarket di seluruh dunia. Konon, masakan Itali juga berubah drastis setelah Marco Polo memperkenalkan mi dan pangsit yang dibawanya dari Tiongkok. Kini, mi dan pangsit punya saudara kembar di Italia. Namanya spaghetti dan ravioli. Mi merupakan makanan yang sangat populer di Indonesia. Ada Mi Binjai, Mi Bangka, Mi Pontianak, Mi Kebumen, Mi Medan, mi Keriting, dan masih banyak lagi. Masing-masing punya kekhasannya sendiri.
Sudah sejak lama dim sum populer di Indonesia, juga di kota-kota metropolitan dunia lainnya. Dim sum adalah makanan kecil mirip kue-kue basah yang biasanya dihidangkan untuk makan pagi, makan siang, atau brunch (antara sarapan dan makan siang, antara breakfast dan lunch). Arti harfiahnya "titik hati". Variasi dim sum sangat banyak, dan inilah yang membuatnya memikat. Sangat banyak pilihan. Ada semacam lumpia dari kembang tahu yang diisi udang dan ikan, cakar ayam dimasak dengan cabe, ketan berisi campuran daging-kacang-telur asin yang dikukus dalam bungkus daun teratai, daging iga dikukus dengan tauco, dan banyak lagi. Yang paling terkenal, tentu saja, adalah bakpau dan siomay.
Jauh sebelum dim sum populer di Indonesia, bakpau dan siomay sudah lebih dulu populer. Di berbagai kota besar Indonesia, bakpau dijajakan keliling kota dengan gerobak dorong dalam kukusan besar agar selalu hangat. Bakpau yang dijajakan keliling kota ini berisi daging ayam, kacang merah, atau kacang hijau. Di Jakarta siomay dijajakan oleh
penjaja bersepeda dan sangat populer di segala lapisan sosial. Ibu-ibu yang sedang ditata rambutnya di salon mahal, tidak segan memesan siomay dari penjaja bersepeda.
Terima kasih, Myra Sidharta, atas catatan di atas.