Mie Ayam jenis makanan yang paling populer di Jakarta, begitu dipuja dan
berskala massif penyebarannya, entahlah apa daerah lain di luar Jakarta
juga memiliki sinyalemen yang sama.
Mie ayam di Jakarta mudah ditemui
dari komunitas kampung-kampung kumuh sampai dengan kampung nggak kumuh.
Daerah belakang perkantoran sampai daerah jualan kambing. Pokoknya bila suatu daerah di Jakarta tidak ada
yang jualan mie ayamnya, maka lurahnya perlu dipertanyakan apa dia punya
dendam dulunya sama tukang mie ayam?
Jenis makanan
ini mudah diracik, tapi tunggu dulu, tidak sembarang
orang berbakat meracik mie ayam. Saya punya teman waktu kuliah dulu
penggila mie ayam. Wah, dia bukan maen maniaknya sama mie ayam. Saya
pernah ke kamarnya, kayaknya dia itu sudah perlu di bawake psikiater
soalnya poster-poster yang tertempel di dinding kamarnya puluhan gambar
tukang mie ayam favoritnya dengan berbagai pose. Saya menyebutnya gila
tapi dia menyebut dirinya `absolusitas terhadap hobby'.
Nah si A ini
(saya beri inisial teman saya A) saking hobinya sama mie ayam, dia memburu mie ayam-mie ayam
terenak di Jakarta. Waktu di kampus hobinya nongkrong dekat si N tukang
mie ayam paling populer di kampus saya dulu. Pas jam kuliah dia jarang
masuk kelas tapi terus menerus berdiskusi dengan si N, dia menyusun
wacana bumbu dan mulai mengait-ngaitkan bumbu dengan selera konsumen.
Dia memang berbakat, cerdas, anak orang kaya, rajin shalat, jagoan lagi
tidak sombong. Saking berbakatnya, dia
sempat jadi asdos-nya tukang mie ayam. Setelah dinyatakan lulus dengan
predikat summa cum laude sama di N tukang mie ayam berbakat itu, dia
berusaha memburu lagi racikan bumbu terenak. Dia menyusuri wilayah
Bintaro yang kabarnya itu gudangnya mie ayam basah dengan racikan
dominan daun bawang.
Dia masuki wilayah Menteng yang mempelopori mie
ayam pake kombinasi kecap dan nyaris tanpa kuah dengan sebutan Mie
Yamin. Nama Yamin sendiri diambil dari nama seorang preman kejam dan
brutal yang sering malak tukang mie ayam di seputaran Menteng. Setelah
si Yamin dikasih mie ayam kering berkecap itu dia tidak minta uang lagi
sama tukang mie ayam tapi minta tiap siang disediakan dua mangkuk mie
ayam kering kecap. Rumornya lagi ada pedagang
Mie Ayam yang pake trik belagak blo'on kalo dipalak sama si Yamin. Nah
Mie Ayam yang pedagangnya belagak blo'on ini kemudian hari dikenal
sebagai Mie Blo'on atau Mie O’on yang adanya di deket Theresia, Menteng.
Teman saya ini juga nyusurin lorong-lorong di
Petak Sembilan, Glodok, Tamansari, Hayam Wuruk sampai seputaran jalan
Mangga Dua, Sao Besar (Sawah Besar), Kebon Jeruk, Pasar Baru sampai
perempatan Gunung Sahari.
Di seputar wilayah kota lama, dia menemukan
ciri khas mie ayam asli. Mie ayam yang asli memang bawaan dari Cina
Selatan terutama dari daerah-daerah pelabuhan di Fujian dan Guandong.
Setelah gerakan besar imigrasi orang-orang Arab dan Cina tahun 1870 ke
Jawa karena politik keterbukaan imigran Pemerintahan Hindia Belanda,
berkembanglah dengan pesat kantong-kantong pemukiman penduduk timur
asing yang kalo orang kumpeni bilang `Vreemde Oosterlingen'.
Meledaknya
peningkatan penduduk dari Cina Selatan ini menambah preferensi selera
makan karena mereka juga membawa ilmu gastronomi. Apalagi dalam
budaya cina peranakan terkenal dengan budaya menikmati hidup, artinya
`Lu kalo makan jangan tanggung-tanggung yang banyak dan enak sekalian'
– bagi kaum peranakan cina kerja habis-habisan harus diganti dengan makan
enak dan hidup nyaman.
Nah, dari filosofi hidup makan enak lahirlah mie
ayam ini. Terciptanya mie ayam dengan rasa khas ini tak terlepas dari
gerakan besar masakan `caudo' (lidah melayu menyebutnya 'soto'). `Caudo'
melanda nusantara terutama di pesisir Jawa setelah habisnya perang
Diponegoro 1825-1830. Awalnya `caudo' dikenal di Lamongan dan Kudus.
Nah, jenis caudo ini bening karena mengambil filsafat `wening ingati'
atau beningnya hati. Tapi lama kelamaan kuah soto Kudus dan Soto
Lamongan tidak sebening di awalnya karena dapat ketambahan bumbu-bumbu
(terutama `poya' terbuat dari udang tumbuk seperti ebi).
Nah, gerakan
soto Kudus dan Lamongan pada tahun 1932 jaman pemogokan buruh kereta api
di Surabaya masuk ke beberapa kampung di Surabaya seperti Gundih,
Darmo, Waru, Ambengan, dll. Dari situ lahirlah soto Waru, soto Sulung,
soto Ambengan, dan yang paling fenomenal adalah `Soto Madura'.
Soto
Madura pada awalnya diracik oleh peranakan Cina Surabaya, namun karena
pembantu masaknya orang Madura dan pembantu itu kemudian lepas
darimajikannya lalu mempopulerkan masakan itu, lucunya di kemudian hari
jarang yang bikin soto madura itu orang madura asli. Kalo anda mampir
makan di soto-soto madura pinggir jalan kebanyakan yang dagang berasal
dari Jawa Timur, bukan Madura. Malah juga banyak dari Solo atau
Semarang. Setelah era soto di tahun 1880 pada suatu perayaan capgomeh di
Semarang, Kong Koan (perkumpulan elite peranakan) mengundang ahli masak
masakan cina untuk berlomba. Nah bahan dasar yang digunakan itu mian
(mie) berbahan dasar tepung terigu dan tepung beras, mifen (bihun), mian
xian (misoa), lumian (lomi), guotiao (kwetiau), juga dipake ravioli
alias bianshi yang kalo lidah melayu bilang Pangsit.
Selain bahan
berbasis tepung beras lomba itu juga menyajikan perlombaan memasak
jenis-jenis tim sum (dim sum) seperti ruo bao (bapao), ruo zong
(bacang), nunbing (lumpia). Saat itu hasil perlombaan berlangsung yang
memenangkan lomba untuk kategori bahan dasar terigu dan tepung beras
adalah peranakan dari Batavia dan pemenang kategori Tim Sum adalah
seorang ibu peranakan cina dari Bandung. Inilah kenapa sebabnya makanan
untuk kategori bahan dasar tepung terigu dan beras kelak di kemudian
hari dikuasai oleh Jakarta dan Tim Sum yang kemudian melahirkan jenis
masakan fenomenal bernama Siomay dikuasai Urang Bandung. Nggak ada yang
ngalahin deh rasanya siomay ikan tenggiri Bandung, tapi jangan bandingin
mie ayam bandung dengan mie ayam Jakarta.
Nah, setelah keberhasilan Kong Koan
meletakkan dasar-dasar makanan enak, kemudian jaringan makanan enak
berkembang pesat tidak lagi dijalankan dengan sistem tradisional yang
berupa gendongan/pikulan di pasar-pasar.
Modernisasi
masakan Cina ini pada awalnya dilawan dengan gerakan masakan gaya Arab.
Pusat makanan bergaya Arab ini ada di Solo dan Semarang, tapi yang
paling terkenal di Solo makanan yang sampai sekarang masih kita nikmatin
sisa-sisa kejayaan makanan arab dan merakyat adalah Tongseng dan Gulai
Kambing. Jago-jago masak tongseng dan gulai kambing ini sendiri bukan
keturunan Arab tapi orang-orang Jawa asli dan mereka kebanyakan dari
wilayah Karanggede utara Solo dekat Boyolali.
Kejayaan masakan khas Arab pernah dirasakan juga di Jakarta pusatnya ada di wilayah elite Cikini dekat rumah Raden Saleh. Sampai sekarang sisa-sisa itu masih ada. Kalo anda berjalan di sekitar jalan Raden Saleh, banyak makanan khas Arab bertebaran di sana dan resto-nya udah tua-tua. Gerakan masakan Arab yang mundur di tahun 1950-an kemudian digantikan oleh persebaran baru jenis Masakan Padang.
Kejayaan masakan khas Arab pernah dirasakan juga di Jakarta pusatnya ada di wilayah elite Cikini dekat rumah Raden Saleh. Sampai sekarang sisa-sisa itu masih ada. Kalo anda berjalan di sekitar jalan Raden Saleh, banyak makanan khas Arab bertebaran di sana dan resto-nya udah tua-tua. Gerakan masakan Arab yang mundur di tahun 1950-an kemudian digantikan oleh persebaran baru jenis Masakan Padang.
Masakan Padang awalnya berdiri di
Senen tahun 1950-an. Wilayah Pasar Senen dulu banyak dihuni
pedagang-pedagang dari Minang, dari copet sampe tukang emas semuanya
orang minang. Nah karena orang Minang ini pintar-pintar dan tidak hanya
berbakat jadi pedagang tok, mereka juga pandai bersastra dan juga sering
maen film. Maka terbentuklah komunitas gelandangan Senen. Ini bukan
gelandangan sembarang gelandangan, tapi lebih kepada komunitas seniman.
Tokoh seniman dari Minang yang terkenal dan gemar kongkow sambil
kadang-kadang jadi tukang catut banyak banget, sebut aja Chairil Anwar,
Djamalludin Malik, Sukarno M Noor (Bapaknya Rano Karno), Adam Malik,
kadang-kadang Tan Malaka juga datang ke Senen secara incognito karena
diburu-buru intelijen Hindia Belanda. Nah, di tahun 1950-an para
gelandangan rata-rata udah jadi orang; Adam Malik udah jadi dubes Moskow
(jaman Orde Baru dia sempat jadi Wapres), Chairil Anwar udah jadi
legenda sastra – dia wafat sekitar tahun 1949 dan dimakamkan di
pekuburan Karet, Djamalludin Malik udah jadi produser film besar -nama
perusahaannya Persari dan mimpin organisasi budaya muslim 'Lesbumi'.
Ketika seniman udah banyak yang jadi orang, tukang-tukang masak Padang juga mulai memperkuat dagangan. Awalnya konglomerasi `Salero Bagindo' dibangun di seputaran Senen, trus hampir seluruh wilayah Jakarta Pusat pada tahun 1970-1980 dikuasai jaringan Salero Bagindo. Di saat meledaknya jaringan Salero Bagindo bermuncullah pedagang-pedagang nasi Padang kesohor, baik dari Pariaman yang mempopulerkan sate padang maupun dari Solok yang terkenal ayam bakar dan bareh solok, bareh tanamo. Nama-nama seperti : Singgalang, Goyang Lidah, Ratu Bundo , Simpang Tigo (-eh sorry itu bukan masakan Padang tapi tukang cukur di Mampang), Sari Ratu, Rajo Salero, berkecambah dimana-mana ditambah popularitas ayam pop keluaran Medan menambah referensi masakan Padang. Kini jenis masakan lokal yang memiliki jaringan kuat di Indonesia hanya ada dua; jenis masakan Padang dan jenis masakan Cina.
Ketika seniman udah banyak yang jadi orang, tukang-tukang masak Padang juga mulai memperkuat dagangan. Awalnya konglomerasi `Salero Bagindo' dibangun di seputaran Senen, trus hampir seluruh wilayah Jakarta Pusat pada tahun 1970-1980 dikuasai jaringan Salero Bagindo. Di saat meledaknya jaringan Salero Bagindo bermuncullah pedagang-pedagang nasi Padang kesohor, baik dari Pariaman yang mempopulerkan sate padang maupun dari Solok yang terkenal ayam bakar dan bareh solok, bareh tanamo. Nama-nama seperti : Singgalang, Goyang Lidah, Ratu Bundo , Simpang Tigo (-eh sorry itu bukan masakan Padang tapi tukang cukur di Mampang), Sari Ratu, Rajo Salero, berkecambah dimana-mana ditambah popularitas ayam pop keluaran Medan menambah referensi masakan Padang. Kini jenis masakan lokal yang memiliki jaringan kuat di Indonesia hanya ada dua; jenis masakan Padang dan jenis masakan Cina.
Nah kembali
lagi ke masakan Cina tadi yang berkaitan dengan Mie Ayam dan nasib teman
saya itu. Setelah `ngluruk' kemana-mana barulah dia memulai karirnya
sebagai pemilik resto Mie Ayam. Dia mencoba membangun jaringan Mie Ayam
dengan semangat gaya Om Liem. Awalnya dia langsung buka tiga resto
- maklumlah permodalannya kuat, dia kan anak orang kaya, tapi bangkrut
semua, pertanyaannya kenapa? Sebabnya ya itu tadi, walaupun ia sudah
memiliki segudang ilmu tentang mie ayam, tapi ia tidak paham selera
pasar.
Jangan salah, tiap daerah di Jakarta punya ciri khasnya. Inilah kenapa mie ayam-mie ayam lokal mampu unggul sementara selera universal mie ayam dikuasai metodologi bumbu dari resto `GM' dan resto `Es Teler 77'. Menurut saya, mie ayam di wilayah selatan beda dengan mie ayam di pusat. Mie ayam di pusat lebih dikuasai gaya padat bumbu dan kuahnya condong berwarna hitam ini karena pengaruh penggunaan lada hitam dan bumbu kecap cina yang kental, sementara wilayah selatan kecap bumbunya agak keemasan dan tidak diberi lada yang banyak tapi cukup bumbu vetsin dan garam serta rasa kuah daun bawang yang kerasa banget, dan inilah kenapa mie ayam di selatan Jakarta agak lebih bening.
Sementara di perbatasan antara pusat-selatan sendiri yaitu wilayah Menteng, mie ayam-nya merupakan gabungan antara selera selatan dan pusat, jadilah mie ayam khas kecap kering ala Yamin. Temen saya rupanya mau pake ide baru eh malah ketemu mie ayam gaya Pasar Legi Solo. Saya pernah sekolah di Solo jadi sering makan mie ayam sana tapi masya Allah, gak enak banget buat lidah Jakarta! Kagak ada pedes-pedesnya dan malah kerasa hambar.
Dulu antara tahun 1981-1984 di daerah Mampang-Buncit banyak berkeliaran gerobak dagangan mie ayam, warna gerobak itu biru muda, seluruhnya terbuat dari kayu dan berbentuk sangat besar. Gaya masakan mereka mie ayam agak bening dan ada kerupuk mie ayam / kerupuk pangsit-nya enak banget, harganya waktu itu di tahun 1983 berkisar antara Rp.300,- sampe Rp.350,-. Kita bisa ngambil kerupuk seenaknya dan sebanyak-banyaknya (saya bahkan sering nimpe panci yang isinya potongan ayam, tapi setelah tau tukang mie ayamnya yang dulu jagoan pasar, jadi jarang lagi nimpe).
Mie ayam buncit yang enak ini kayaknya sekarang udah nggak ada lagi. Saya pernah nyari-nyari di sekitar Buncit-Mampang tapi nggak ada yang seenak mie ayam khas tahun 80-an, dulu juga ada di Buncit Empat pas depan jalan (perempatan dengan jalan raya Buncit) ada mie ayam enak banget nah dia itu yang mempopulerkan mie ayam rasa daun bawang yang racikannya sangat berpengaruh di Bintaro dan Indomie sempat bikin racikan seperti ini.
Tapi tukang mie ayam itu udah nggak ada lagi, cuman bagusnya sisa-sisa mie ayam selera Mampang-Buncit masih ada dan berupa kios kecil, tempatnya di pertigaan Buncit-Duren Tiga. Dulu lokasinya depan jalan masuk Pomad dekat apotik Mataram, nah namanya `Bakmi Ayam Mataram'. Ini mie ayam enak banget dan pewaris selera mie ayam Buncit-Mampang.
Jangan salah, tiap daerah di Jakarta punya ciri khasnya. Inilah kenapa mie ayam-mie ayam lokal mampu unggul sementara selera universal mie ayam dikuasai metodologi bumbu dari resto `GM' dan resto `Es Teler 77'. Menurut saya, mie ayam di wilayah selatan beda dengan mie ayam di pusat. Mie ayam di pusat lebih dikuasai gaya padat bumbu dan kuahnya condong berwarna hitam ini karena pengaruh penggunaan lada hitam dan bumbu kecap cina yang kental, sementara wilayah selatan kecap bumbunya agak keemasan dan tidak diberi lada yang banyak tapi cukup bumbu vetsin dan garam serta rasa kuah daun bawang yang kerasa banget, dan inilah kenapa mie ayam di selatan Jakarta agak lebih bening.
Sementara di perbatasan antara pusat-selatan sendiri yaitu wilayah Menteng, mie ayam-nya merupakan gabungan antara selera selatan dan pusat, jadilah mie ayam khas kecap kering ala Yamin. Temen saya rupanya mau pake ide baru eh malah ketemu mie ayam gaya Pasar Legi Solo. Saya pernah sekolah di Solo jadi sering makan mie ayam sana tapi masya Allah, gak enak banget buat lidah Jakarta! Kagak ada pedes-pedesnya dan malah kerasa hambar.
Dulu antara tahun 1981-1984 di daerah Mampang-Buncit banyak berkeliaran gerobak dagangan mie ayam, warna gerobak itu biru muda, seluruhnya terbuat dari kayu dan berbentuk sangat besar. Gaya masakan mereka mie ayam agak bening dan ada kerupuk mie ayam / kerupuk pangsit-nya enak banget, harganya waktu itu di tahun 1983 berkisar antara Rp.300,- sampe Rp.350,-. Kita bisa ngambil kerupuk seenaknya dan sebanyak-banyaknya (saya bahkan sering nimpe panci yang isinya potongan ayam, tapi setelah tau tukang mie ayamnya yang dulu jagoan pasar, jadi jarang lagi nimpe).
Mie ayam buncit yang enak ini kayaknya sekarang udah nggak ada lagi. Saya pernah nyari-nyari di sekitar Buncit-Mampang tapi nggak ada yang seenak mie ayam khas tahun 80-an, dulu juga ada di Buncit Empat pas depan jalan (perempatan dengan jalan raya Buncit) ada mie ayam enak banget nah dia itu yang mempopulerkan mie ayam rasa daun bawang yang racikannya sangat berpengaruh di Bintaro dan Indomie sempat bikin racikan seperti ini.
Tapi tukang mie ayam itu udah nggak ada lagi, cuman bagusnya sisa-sisa mie ayam selera Mampang-Buncit masih ada dan berupa kios kecil, tempatnya di pertigaan Buncit-Duren Tiga. Dulu lokasinya depan jalan masuk Pomad dekat apotik Mataram, nah namanya `Bakmi Ayam Mataram'. Ini mie ayam enak banget dan pewaris selera mie ayam Buncit-Mampang.
Lalu bagaimana kisah teman saya tadi yang berambisi jadi pemilik resto mie ayam?
Setelah
resto mie ayamnya bangkrut ia kini belajar masak sama tukang ketoprak.
Ia berambisi memiliki jaringan makanan ketoprak itung-itung ngalahin
ketoprak di Jalan Ciragil kebayoran yang mahalnya nggak ketulungan!
Referensi Artikel:
Referensi Artikel:
Anton Anticelli
Ketua Yayasan Inmaksi (Ikatan Nebeng Makan Siang)