".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Friday, 1 August 2014

Kuliner Etnik dan Gagasan Kebudayaan - Bubur Sumsum dan Makna Filosofis Pada Zaman Kerajaan Majapahit

"Orang harus belajar melihat, orang harus belajar berfikir, orang harus belajar berbicara dan menulis : Tujuan dari tiga hal itu adalah budaya yang mulia" (Nietzsche)

a. Kaitan antara kuliner etnik dengan manifestasi kebudayaan
Kuliner etnik merupakan salah satu hasil dari aktifitas kebudayaan dari suatu masyarakat. Sehingga antara kuliner dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan, mereka menyatu dalam satu struktur kebudayaan yang secara sadar digerakkan oleh masyarakat tersebut.

Dengan menyesuaikan kondisi geografik masyarakat menyusun dan mengolah masakan dengan kebiasaan yang mereka ciptakan sendiri. Struktur kebudayaan yang telah bergerak mengandung satu manifestasi / ide / gagasan kebudayaan yang wajib untuk ditafsirkan. Dengan kata lain, mengandung satu makna filosofis bagi masyarakat setempat. Pemasukan gagasan kebudayaan tersebut ditujukan untuk memberikan nilai yang kemudian akan diturunkan ke generasi berikutnya.

Dalam kuliner etnik, biasanya makna filosofis yang terkandung didalamnya dapat ditandai dengan penggunaan bahan masakan. Artinya setiap bahan dasar masakan memiliki fungsi maknanya sendiri, bukan hanya sekadar hasil akhir yakni “dimakan” melainkan kuliner tersebut membawai satu makna filosofis yang mendalam bagi masyarakat setempat.

Hal ini dikarenakan masakan merupakan agen vital bagi pertumbuhan tubuh. Lebih dari itu, masakan berasal dari alam dan akan semuanya itu dikembalikan lagi ke alam. Dengan kata lain alam dan tubuh berada dalam satu lingkaran siklus, yang mana siklus ini akan selalu berputar ketika pewarisan ide/gagasan masih berjalan dengan baik.

Penggunaan masakan sebagai representasi filosofis masyarakat bukan tanpa sebab,  sejak zaman dulu manusia telah mengenal kebiasaan untuk mempersembahkan sesaji. Seperti yang terjadi di zaman pagan (agama penyembah alam) dimana dalam masyarakat pagan mereka menggunakan daging binatang buruan sebagai sesaji. Dan daging tersebut dibakar karena pada saat itu kebiasaan memasak dengan cara digoreng belum dikenal oleh masyarakat tersebut.

Hal yang terjadi menyatakan, suatu kebudayaan akan menciptakan cara tersendiri untuk merepresentasikan makna filosofis yang dipercayai oleh tiap pelaku kebudayaan dalam bentuk kuliner.

b.  Bubur Sumsum dan Makna Filosofis pada zaman kerajaan Majapahit
Kerajaan majapahit merupakan kerajaan yang menganut agama hindu-budha, kerajaan tersebut menyatukan dua agama melaui proses sinkretisme. Perpaduan antara 2 (dua) agama yakni hindu dan budha menghasilkan satu agama baru yang dinamakan agama Syiwabudha, kekuasaan majapahit di berbagai daerah juga mempermudah untuk disebarluaskannya agama Syiwabudha di kalangan masyarakat di luar kerajaan. Sebagai aktifitas keagamaan, agama Syiwabudha memiliki hari raya Galungan sebagai hari bersyukur atas peenciptaan alam semesta.

Dalam kitab pararaton disebutkan bahwa hari raya Galungan telah ada sejak akhir jaman kerajaan Majapahit, hal ini berarti bahwa hari raya Galungan tersebut telah ada sebelum kerajaan Majapahit mengalami masa keruntuhan. Disaat hari raya galungan, warga penganut agama syiwabudha mengalami peperangan melawan 3 (tiga) Butha. Yang mana butha tersebut datang dalam 3 (tiga) hari. Hari pertama merupakan peperangan secara spiritual, hari kedua mengalahkan dan hari ketiga mengusai butha tersebut.

Selama 3 (tiga) hari ini disajikan bubur sumsum sebagai sesaji. Pembuatan bubur sumsum sebagai sesaji tanpa sebab, bubur ini merepresentasikan bahwa sebelum hari raya Galungan tiba kita diharuskan untuk mempersiapkan dengan baik antara kebutuhan material dan spiritual.

Penggunaan gula sebagai pemanis bubur dikarenakan di zaman kerajaan Majapahit masih jaya, kerajaan tersebut mengalami kelebihan produksi gula. Akibatnya pulau jawa dikenal dengan warganya yang suka akan rasa manis, apalagi jika berada di wilayah dekat kerajaan.

Bubur Sumsum sebagai sesaji mengandung satu makna filosofis, dimana bubur ini  akan membantu peperangan melawan ketiga butha. Dalam proses pembuatannya, bubur sumsum hanya terdiri dari 2 (dua) bahan dasar, yakni tepung beras dan gula.

Penggunaan beras memiliki makna bahwa beras berasal padi yang tumbuh dari dalam tanah, tanah merupakan titik sentral alam semesta. Ketika ekosistem tanah rusak, maka keseimbangan alam akan terganggu. Sehingga manusia dituntut untuk senantiasa menjaga keseimbangan alam.

Seperti yang telah disebutkan, penggunaan gula merupakan salah satu penggambaran atas kebesaran kerajaan Majapahit dalam menghasilkan kelebihan produksi gula hingga pemerintahan kerajaan mampu mengekspornya ke luar wilayah Hindia Belanda.

c.  Pergeseran Makna
Seiring dengan perkembangan zaman, dan ketika agama Syiwabudha tidak lagi mendapatkan tempat bagi spiritulitas masyarakat, mengakibatkan bubur sumsum mengalami pergeseran makna. Agama baru yang mulai menyebar dalam ke hidupan masyarakat di Jawa, menyebabkan beberapa perubahan yang secara sadar diubah oleh masyarakat sendiri.

Dalam penyebarannya, tokoh-tokoh agama baru ini mencoba untuk menyesuaikan dengan kebudayaan setempat. yang kemudian mendapatkan persetujuan dari masyarakat (tidak ada surat perjanjian resmi) hanya berupa aktifitas kebudayaan yang dilakukan.

Yang terjadi sekarang, ketika agama Islam masuk ke pulau Jawa bubur sumsum tetap ada namun telah mengalami pergeseran makna. Yang awal mulanya digunakan sebagai pengingat untuk menjaga keseimbangan alam, kini bubur sumsum dimaknai sebagai rasa syukur atas kelahiran seseorang.

Sekarang kita sering menjumpai bubur sumsum sebagai masakan yang wajib ada disaat hari weton kelahiran. Dalam pasaran Jawa, hari weton ada satu kali dalam 5 (lima) hari.

Pembaharuan ide / gagasan yang mendiami satu kuliner etnik merupakan hal yang memang semestinya terjadi, karena zaman semakin berubah dan hal-hal yang baru akan selalu ada, sehingga agar bubur sumsum ini mampu bertahan seiring dengan zaman, maka bubur sumsum ini harus ada bagian yang diubah. Misalkan dengan pergeseran maknanya.

Meskipun hal ini tidak dilakukan dengan sengaja, namun benturan antara manifestasi kebudayaan lama dengan kebudayaan baru akan selalu menghasilkan satu perpaduan, yang jika dicermati masih mengandung ide –ide lama dan ada bagian sendiri bagi ide-ide baru. Seperti bubur sumsum, meskipun sekarang dimaknai sebagai masakan wajib hari weton, namun pada inti terkecilnya bubur sumsum ditujukan untuk raya syukur atas diberinya kehidupan.

Hal ini sama dengan filosofis kerajaan majapahit yang menggunakan bubur sumsum sebagai persembahan rasa syukur atas penciptaan alam semesta. Penciptaan alam semesta ditandai dengan peperangan melawan 3 (tiga) butho seperti yang telah tertulis pada paragraf sebelumnya.

Kuliner etnik mengandung satu manifestasi kebudayaan yang berlangsung di dalam satu masyarakat. Dimana manifestasi ini berupa nilai yang kemudian akan diturunkan pada generasi berikutnya.

Artikel Referensi dari Ghembrang Rebelluna - UGM Yogyakarta, Februari 2013