Tidak adakah strategi pangan lokal di Nusantara? Apakah masalah pangan
yang muncul kini tidak pernah terjadi pada masa lalu? Kita memiliki
kekayaan mengenai cara-cara menangani masalah pangan pada masa lalu.
Aktualisasi strategi itu membutuhkan kerja sama berbagai kalangan, mulai
dari ahli filologi, bahasa, sejarah, pangan, pertanian, ekonomi, dan
lain-lain.
Bulan lalu sebuah seminar mengenai pangan di dalam naskah kuno Nusantara diadakan oleh Perpustakaan Nasional. Acara yang dilaksanakan dua hari ini sangat menarik karena sangat jarang naskah kuna itu diaduk-aduk dari perspektif di luar kajian kebahasaan.
Dari sejumlah pemakalah, kita bisa melihat betapa kita kaya akan naskah kuno yang berbicara mengenai pangan dan ketahanan pangan. Ada naskah berbahasa Aceh, Melayu, Jawa, Sunda hingga Bali, yang memberi informasi soal pangan dan juga ketahanan pangan.
Beberapa judul makalah di dalam seminar itu antara lain Swasembada Pangan dan Penanggulangan Hama di Aceh Periode Kesultanan (Kajian Sarakata dan Manuskrip Aceh), Pemuliaan Pangan Berbasis Kearifan Lokal Naskah Mantra Pertanian dan Mitos Padi di Masyarakat Pesisir Cirebon dalam Naskah Serat Satruya Budug Basu, serta Dharma Caruban: Buku Resep Masakan ala Bali.
Dari berbagai naskah kuno Nusantara terdapat informasi mengenai jenis pangan, pengolahan lahan, pengendalian hama, konsep ketahanan pangan, hingga pengolahan pangan. Informasi ini cukup gamblang dan bisa digali lebih dalam.
Pelajaran dari naskah-naskah itu, nenek moyang kita telah mengalami masalah pangan yang juga rumit dan mereka juga telah mencari pemecahan masalah. Tekanan produksi pangan pernah dialami sejumlah kerajaan di Nusantara. Pada saat yang sama kita bisa membaca cara-cara nenek moyang kita menangani masalah pangan.
Salah satu persoalan yang muncul adalah bagaimana pengalaman dan pengetahuan masa lalu itu bisa digali dan dikontekskan dengan kondisi saat ini. Tentu saja naskah ini sudah ditransliterasi agar ahli - ahli nonbahasa bisa memahami naskah itu.
Langkah pertama adalah mencari naskah-naskah Nusantara yang berbicara mengenai pangan. Langkah berikutnya adalah pencatatan mengenai berbagai komoditas pangan yang ada di masyarakat pada masa lalu. Langkah selanjutnya adalah mencari strategi masyarakat masa itu dalam mengatasi masalah pangan.
Bila telah berhasil dikumpulkan dan disistematisasi, maka akan terlihat gambaran utuh mengenai pangan, persoalan pangan, dan juga strategi pada masa lalu seperti di dalam naskah-naskah itu. Selanjutnya berbagai masalah saat ini dikumpulkan dan kemudian dipadankan dengan persoalan masa lalu serta dicari strategi yang diambil.
Proses itu tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang. Akan tetapi, mungkin cara itu bisa bermanfaat dan menambah informasi pangan dan ketahanan pangan dibandingkan kita hanya mengandalkan pendekatan produksi dan konsumsi semata yang ujung-ujungnya hanya mengimpor.
Kekayaan kita itu masih ada dan melimpah. Saatnya kita menggali dan memanfaatkan kekayaan itu. Apalagi dua hari lagi kita merayakan Hari Pangan Sedunia yang mempunyai tema ”Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”. Informasi sumber daya lokal bisa digali dari dokumen masa lalu yaitu naskah kuno Nusantara itu.
Artikel ini diambil dari tulisan:
Andreas Maryoto di Kompas, Selasa, 15 Oktober 2013
Bulan lalu sebuah seminar mengenai pangan di dalam naskah kuno Nusantara diadakan oleh Perpustakaan Nasional. Acara yang dilaksanakan dua hari ini sangat menarik karena sangat jarang naskah kuna itu diaduk-aduk dari perspektif di luar kajian kebahasaan.
Dari sejumlah pemakalah, kita bisa melihat betapa kita kaya akan naskah kuno yang berbicara mengenai pangan dan ketahanan pangan. Ada naskah berbahasa Aceh, Melayu, Jawa, Sunda hingga Bali, yang memberi informasi soal pangan dan juga ketahanan pangan.
Beberapa judul makalah di dalam seminar itu antara lain Swasembada Pangan dan Penanggulangan Hama di Aceh Periode Kesultanan (Kajian Sarakata dan Manuskrip Aceh), Pemuliaan Pangan Berbasis Kearifan Lokal Naskah Mantra Pertanian dan Mitos Padi di Masyarakat Pesisir Cirebon dalam Naskah Serat Satruya Budug Basu, serta Dharma Caruban: Buku Resep Masakan ala Bali.
Dari berbagai naskah kuno Nusantara terdapat informasi mengenai jenis pangan, pengolahan lahan, pengendalian hama, konsep ketahanan pangan, hingga pengolahan pangan. Informasi ini cukup gamblang dan bisa digali lebih dalam.
Pelajaran dari naskah-naskah itu, nenek moyang kita telah mengalami masalah pangan yang juga rumit dan mereka juga telah mencari pemecahan masalah. Tekanan produksi pangan pernah dialami sejumlah kerajaan di Nusantara. Pada saat yang sama kita bisa membaca cara-cara nenek moyang kita menangani masalah pangan.
Salah satu persoalan yang muncul adalah bagaimana pengalaman dan pengetahuan masa lalu itu bisa digali dan dikontekskan dengan kondisi saat ini. Tentu saja naskah ini sudah ditransliterasi agar ahli - ahli nonbahasa bisa memahami naskah itu.
Langkah pertama adalah mencari naskah-naskah Nusantara yang berbicara mengenai pangan. Langkah berikutnya adalah pencatatan mengenai berbagai komoditas pangan yang ada di masyarakat pada masa lalu. Langkah selanjutnya adalah mencari strategi masyarakat masa itu dalam mengatasi masalah pangan.
Bila telah berhasil dikumpulkan dan disistematisasi, maka akan terlihat gambaran utuh mengenai pangan, persoalan pangan, dan juga strategi pada masa lalu seperti di dalam naskah-naskah itu. Selanjutnya berbagai masalah saat ini dikumpulkan dan kemudian dipadankan dengan persoalan masa lalu serta dicari strategi yang diambil.
Proses itu tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang. Akan tetapi, mungkin cara itu bisa bermanfaat dan menambah informasi pangan dan ketahanan pangan dibandingkan kita hanya mengandalkan pendekatan produksi dan konsumsi semata yang ujung-ujungnya hanya mengimpor.
Kekayaan kita itu masih ada dan melimpah. Saatnya kita menggali dan memanfaatkan kekayaan itu. Apalagi dua hari lagi kita merayakan Hari Pangan Sedunia yang mempunyai tema ”Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”. Informasi sumber daya lokal bisa digali dari dokumen masa lalu yaitu naskah kuno Nusantara itu.
Artikel ini diambil dari tulisan:
Andreas Maryoto di Kompas, Selasa, 15 Oktober 2013