Darma Caruban merupakan suatu uraian singkat tentang penyelenggaraan
hidangan-hidangan masyarakat Bali, baik yang dipergunakan pada waktu
pesta, maupun dalam perayaan keagamaan yang berdasarkan adat Agama
Hindu. Dharma Caruban merupakan naskah dalam tradisi Bali yang membahas
keanekaragaman resep makanan tradisional dengan menggunakan racikan
bumbu tradisional.
Secara etimologis kata Dharma Caruban berasal dari dua kata yakni kata Dharma (tata cara) dan Carub (mencampur) sehingga dapat diartikan sebagai tata cara yang dilakukan dalam mencampur racikan bumbu-bumbu masakan sesuai dengan uraian resep. Bisa dikatakan peraturan tata cara racikan yang dibuat oleh Dewa dituangkan dalam Lontar Dharma Caruban yang harus dikuasai seluk-beluk penyajian makanannya karena terkait dengan persembahan kepada para dewa.
Kutipan lontar Dharma Caruban berisikan tentang tuntunan ngebat utawi mebat dalam penyelenggaraan hidangan - hidangan dan upacara keagamaan di Bali seperti caru (tawur) dan Panca Yadnya lainnya.
Dalam lontar Dharma Caruban ini juga disebutkan doa/mantra untuk menyemblih hewan / binatang yang dibedakan berdasarkan jumlah kaki, cara berjalan dll serta mantra untuk menebang pohon dan memetik daun - daun tumbuh - tumbuhan yang akan digunakan untuk upacara yadnya baik dalam pembuatan sate, lawar, brengkes, urab, gorengan, jukut ares dll.
Selain dari pada doa/ pengastawa yang dilakukan pada waktu menyembelih hewan, maka upakara/bebanten sebagai alat untuk memohon restu kepada Hyang Widhi atas tercapainya kesucian roh hewan yang akan disembelih dan keselamatan si penyembelih tersebut sehingga kesucian dari upacara yadnya itu dapat lebih terwujud.
Bagi masyarakat Hindu setiap melakukan yadnya, baik dewa yadnya, pitra yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya mulai dari tingkatan yang kecil, sedang dan besar, biasanya menyelenggarakan penyembelihan hewan-hewan yang dipergunakan sebagai ulam sesajen. Adapun hewan yang biasanya disembelih untuk ulam sesajen itu adalah ayam, itik, angsa, babi, sapi, kambing, kerbau, penyu dan lain sebagainya.
Menurut bentuk dari pada olah-olahan tersebut ada berbagai macam, ada yang keras, ada yang lembab,maupun ada yang encer. Diantara olah-olahan tersebut maka "Lawar" inilah yang menjadi kegemaran masyarakat Bali dari dahulu sampai sekarang. lawar itu banyak coraknya, ada yang serba matang, ada yang serba setengah matang atau pula ada yang serba mentah.
Sesungguhnya prinsip-prinsip Dharma Caruban banyak sekali manfaatnya dalam menjamin kesehatan hidangan lawar dan yang sejenisnya. misalkan saja untuk membasmi bau busuk dalam daging mentah dharma caruban memberikan resep "Langsub" yang terdiri dari rempah rempah : Lada, Cengkeh, Ketumbar, Jebugarum dll, juga adanya daun-daunan seperti : Ginten, Limau, Janggar Ulam dll, dari umbi-umbian seperti : Gamongan, Bangle, Isen, Cekuh, Kunyit, Jahe dan bawang merah/putih.
Karena segala perikehidupan umat Hindu selalu dijiwai oleh agamanya, tidak mengherankan jika Dharma Caruban mengajarkan pada saat menyembelih hewan baik yang akan dijadikan bahan upacara maupun pesta selalu didahului oleh pengastawan/doa untuk kesucian roh hewan yang akan disembelih. Dalam ajaran Hindu, pembunuhan hewan merupakan perbuatan dosa (Imsa Karma), jika sebelum melakukan pembunuhan hewan kita awali dengan permohonan maka dosa yang kita perbuat akan mendapatkan pengampunan dari hyang Maha Pencipta. = Yan noramangkana tan anemu rahayu sang amejah pati wenang ika.
Rasa olahan dalam masakan Bali sebagai pelengkap upacara dibagi dalam 6 (enam) rasa. Yang pertama disebut Dharma Wiku, yaitu olahan yang mengandung rasa asin. Rasa olahan yang kedua disebut Bima Kroda, yaitu olahan yang mengandung rasa pedas. Rasa olahan yang ketiga disebut Jayeng Satru, yaitu rasa sepat. Yang keempat disebut rasa Gagar Mayang, yaitu olahan yang mengandung rasa pahit. Yang kelima disebut Nyunyur Manis, yaitu olahan yang mengandung rasa manis. Yang terakhir disebut Galang Kangin, yaitu olahan yang mengandung rasa asam.
Dalam masyarakat Hindu di Bal, sajian masakan bukan hal yang sederhana. Dalam terminologi tradisi, selain berpatokan kepada Darma Caruban, peristiwa masak memasak melibatkan segenap elemen adat, termasuk seorang mancagera (ahli masak). Di Bali, seorang mancagera bukan sekadar chef atau kepala juru masak, karena statusnya itu ia harus menguasai seluk-beluk penyajian makanan persembahan kepada para dewa. Mancagera punya posisi terhormat di masyarakat adat. Mereka mumpuni secara keterampilan dan spiritual.
Seorang mancagera tidak pernah dipilih. Ia lahir dari proses tradisi empiris yang panjang. Seorang mancagera tak hanya berkewajiban menyiapkan banten (sesaji) khusus untuk sesuatu upacara, namun ia berkewajiban meminta pengesahan dari bendesa adat (kepala desa adat) serta juga meminta urun tenaga dan pemikiran dari rukun warga setempat. Tugas mancagera sudah dimulai ketika tenda-tenda untuk persiapan upacara didirikan. Tak hanya memasak, tetapi juga seluruh pekerjaan untuk pelaksanaan upacara, boleh dikata, ia adalah dirigennya.
Tugas mancagera dibagi dalam dua bagian. Pertama, harus menguasai wilayah spiritual. Mancagera harus mengerti sarana dan bentuk penyajian makanan persembahan. Kedua, mancagera harus memiliki manajemen pengolahan makanan yang baik. Pada fungsi kedua ini, seorang mancagera bertindak seperti chef dalam terminologi modern. Mancagera harus bisa mengomando warga setempat untuk pelaksanaan mebat atau memasak bersama.
Tugas seorang mancagera dalam dimensi spiritual juga sangat penting. Seorang mancagera sangat mengerti elemen sesajen yang harus dibuat dan dipersembahkan menjelang hari raya Galungan. Selain meracik bumbu yang disebut basa genep, seorang mancagera juga bertugas membuat menu seperti lawar, sate, dan komoh, yang akan disajikan sebagai banten perangkat. Bahkan, setelah daging dipotong-potong, mancagera harus membagi daging untuk sesajian bernama bakaran. Bakaran biasanya cuma berupa potongan jeroan atau darah dan garam, lalu disajikan di atas daun kecil-kecil. Ini berfungsi mohon permisi kepada kekuatan Semesta berupa Bhuta agar merestui acara mebat.
Tarikan dimensi spiritual yang bahkan berbau gaib sangat keras pada saat-saat seorang mancagera menjalankan tugas. Kalau mancagera salah, ada konsekuensi di wilayah magis. Bisa saja masakannya mudah basi atau tidak pernah matang.
Begitupun sesudah selesai memasak, seorang mancagera harus mengingatkan para ”petugasnya” untuk menyiapkan banten bernama saiban. Di beberapa tempat, saiban diistilahkan dengan ngejot. Saiban juga disajikan di atas potongan daun pisang yang berisi beberapa menu, seperti lawar, lauk-pauk, garam, dan nasi. Pokoknya apa pun yang sudah selesai dimasak. Itu jumlahnya bisa ratusan lembar. Kemudian dihaturkan ke beberapa tempat suci atau yang berkategori sakral seperti dapur (api), sumur (air), dan pekarangan (tanah).
Seorang mancagera tidak pernah dididik untuk mengukur seberapa banyak jumlah jahe, kencur, atau laos dalam satu tugas meracik bumbu. Rasa itu bukan di lidah, tetapi pada tangan. Pengalamanlah yang akan memberi rasa pada tangan seorang mancagera.
Seluruh elemen adat di Bali lebih banyak berkembang berdasarkan empiris. Tidak ada pelajaran formal untuk menjadi mancagera walaupun ia harus rajin membuka lontar yang berisi aturan tentang bebantenan, seperti Dharma Caruban sebagai petunjuk praktis.
Meracik basa genep bukan sesuatu yang eksak, tetapi itu didapatkan dari belajar langsung. Terkadang merasakan di lidah itu nomor kesekian, sebelumnya di tangan dan penciuman. Biasanya, saat selesai meracik basa genep yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, laos, jahe, kencur, kunyit, sereh, merica hitam dan putih, lada, pala, cengkeh, cabai rawit, cabai bun, bangle, jinten, gula merah, terasi, dan garam, seorang mancagera menghirup racikan bumbunya. Ada satu aroma dalam penciumannya kalau bumbu itu dirasa bakalan enak.
Begitulah cakupan tugas seorang mancagera, lebih luas dari sekadar chef dalam pengertian kontemporer. Ia seperti meracik segala jenis berkah yang tumbuh di alam, untuk kemudian mempersembahkannya kepada alam semesta dan manusia. Dalam dimensi yang mencakup hal-hal yang transenden dan imanen ini, lidah kita seperti mengecap kelimpahan berkah dengan penuh takzim.
Sumber Referensi Artikel:
- Diskusi Pastika Nengah
- Artikel Made Asdhiana di Kompas
- Diskusi Wayan Dharme
Secara etimologis kata Dharma Caruban berasal dari dua kata yakni kata Dharma (tata cara) dan Carub (mencampur) sehingga dapat diartikan sebagai tata cara yang dilakukan dalam mencampur racikan bumbu-bumbu masakan sesuai dengan uraian resep. Bisa dikatakan peraturan tata cara racikan yang dibuat oleh Dewa dituangkan dalam Lontar Dharma Caruban yang harus dikuasai seluk-beluk penyajian makanannya karena terkait dengan persembahan kepada para dewa.
Kutipan lontar Dharma Caruban berisikan tentang tuntunan ngebat utawi mebat dalam penyelenggaraan hidangan - hidangan dan upacara keagamaan di Bali seperti caru (tawur) dan Panca Yadnya lainnya.
Dalam lontar Dharma Caruban ini juga disebutkan doa/mantra untuk menyemblih hewan / binatang yang dibedakan berdasarkan jumlah kaki, cara berjalan dll serta mantra untuk menebang pohon dan memetik daun - daun tumbuh - tumbuhan yang akan digunakan untuk upacara yadnya baik dalam pembuatan sate, lawar, brengkes, urab, gorengan, jukut ares dll.
Selain dari pada doa/ pengastawa yang dilakukan pada waktu menyembelih hewan, maka upakara/bebanten sebagai alat untuk memohon restu kepada Hyang Widhi atas tercapainya kesucian roh hewan yang akan disembelih dan keselamatan si penyembelih tersebut sehingga kesucian dari upacara yadnya itu dapat lebih terwujud.
Bagi masyarakat Hindu setiap melakukan yadnya, baik dewa yadnya, pitra yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya maupun Bhuta Yadnya mulai dari tingkatan yang kecil, sedang dan besar, biasanya menyelenggarakan penyembelihan hewan-hewan yang dipergunakan sebagai ulam sesajen. Adapun hewan yang biasanya disembelih untuk ulam sesajen itu adalah ayam, itik, angsa, babi, sapi, kambing, kerbau, penyu dan lain sebagainya.
Menurut bentuk dari pada olah-olahan tersebut ada berbagai macam, ada yang keras, ada yang lembab,maupun ada yang encer. Diantara olah-olahan tersebut maka "Lawar" inilah yang menjadi kegemaran masyarakat Bali dari dahulu sampai sekarang. lawar itu banyak coraknya, ada yang serba matang, ada yang serba setengah matang atau pula ada yang serba mentah.
Sesungguhnya prinsip-prinsip Dharma Caruban banyak sekali manfaatnya dalam menjamin kesehatan hidangan lawar dan yang sejenisnya. misalkan saja untuk membasmi bau busuk dalam daging mentah dharma caruban memberikan resep "Langsub" yang terdiri dari rempah rempah : Lada, Cengkeh, Ketumbar, Jebugarum dll, juga adanya daun-daunan seperti : Ginten, Limau, Janggar Ulam dll, dari umbi-umbian seperti : Gamongan, Bangle, Isen, Cekuh, Kunyit, Jahe dan bawang merah/putih.
Karena segala perikehidupan umat Hindu selalu dijiwai oleh agamanya, tidak mengherankan jika Dharma Caruban mengajarkan pada saat menyembelih hewan baik yang akan dijadikan bahan upacara maupun pesta selalu didahului oleh pengastawan/doa untuk kesucian roh hewan yang akan disembelih. Dalam ajaran Hindu, pembunuhan hewan merupakan perbuatan dosa (Imsa Karma), jika sebelum melakukan pembunuhan hewan kita awali dengan permohonan maka dosa yang kita perbuat akan mendapatkan pengampunan dari hyang Maha Pencipta. = Yan noramangkana tan anemu rahayu sang amejah pati wenang ika.
Rasa olahan dalam masakan Bali sebagai pelengkap upacara dibagi dalam 6 (enam) rasa. Yang pertama disebut Dharma Wiku, yaitu olahan yang mengandung rasa asin. Rasa olahan yang kedua disebut Bima Kroda, yaitu olahan yang mengandung rasa pedas. Rasa olahan yang ketiga disebut Jayeng Satru, yaitu rasa sepat. Yang keempat disebut rasa Gagar Mayang, yaitu olahan yang mengandung rasa pahit. Yang kelima disebut Nyunyur Manis, yaitu olahan yang mengandung rasa manis. Yang terakhir disebut Galang Kangin, yaitu olahan yang mengandung rasa asam.
Dalam masyarakat Hindu di Bal, sajian masakan bukan hal yang sederhana. Dalam terminologi tradisi, selain berpatokan kepada Darma Caruban, peristiwa masak memasak melibatkan segenap elemen adat, termasuk seorang mancagera (ahli masak). Di Bali, seorang mancagera bukan sekadar chef atau kepala juru masak, karena statusnya itu ia harus menguasai seluk-beluk penyajian makanan persembahan kepada para dewa. Mancagera punya posisi terhormat di masyarakat adat. Mereka mumpuni secara keterampilan dan spiritual.
Seorang mancagera tidak pernah dipilih. Ia lahir dari proses tradisi empiris yang panjang. Seorang mancagera tak hanya berkewajiban menyiapkan banten (sesaji) khusus untuk sesuatu upacara, namun ia berkewajiban meminta pengesahan dari bendesa adat (kepala desa adat) serta juga meminta urun tenaga dan pemikiran dari rukun warga setempat. Tugas mancagera sudah dimulai ketika tenda-tenda untuk persiapan upacara didirikan. Tak hanya memasak, tetapi juga seluruh pekerjaan untuk pelaksanaan upacara, boleh dikata, ia adalah dirigennya.
Tugas mancagera dibagi dalam dua bagian. Pertama, harus menguasai wilayah spiritual. Mancagera harus mengerti sarana dan bentuk penyajian makanan persembahan. Kedua, mancagera harus memiliki manajemen pengolahan makanan yang baik. Pada fungsi kedua ini, seorang mancagera bertindak seperti chef dalam terminologi modern. Mancagera harus bisa mengomando warga setempat untuk pelaksanaan mebat atau memasak bersama.
Tugas seorang mancagera dalam dimensi spiritual juga sangat penting. Seorang mancagera sangat mengerti elemen sesajen yang harus dibuat dan dipersembahkan menjelang hari raya Galungan. Selain meracik bumbu yang disebut basa genep, seorang mancagera juga bertugas membuat menu seperti lawar, sate, dan komoh, yang akan disajikan sebagai banten perangkat. Bahkan, setelah daging dipotong-potong, mancagera harus membagi daging untuk sesajian bernama bakaran. Bakaran biasanya cuma berupa potongan jeroan atau darah dan garam, lalu disajikan di atas daun kecil-kecil. Ini berfungsi mohon permisi kepada kekuatan Semesta berupa Bhuta agar merestui acara mebat.
Tarikan dimensi spiritual yang bahkan berbau gaib sangat keras pada saat-saat seorang mancagera menjalankan tugas. Kalau mancagera salah, ada konsekuensi di wilayah magis. Bisa saja masakannya mudah basi atau tidak pernah matang.
Begitupun sesudah selesai memasak, seorang mancagera harus mengingatkan para ”petugasnya” untuk menyiapkan banten bernama saiban. Di beberapa tempat, saiban diistilahkan dengan ngejot. Saiban juga disajikan di atas potongan daun pisang yang berisi beberapa menu, seperti lawar, lauk-pauk, garam, dan nasi. Pokoknya apa pun yang sudah selesai dimasak. Itu jumlahnya bisa ratusan lembar. Kemudian dihaturkan ke beberapa tempat suci atau yang berkategori sakral seperti dapur (api), sumur (air), dan pekarangan (tanah).
Seorang mancagera tidak pernah dididik untuk mengukur seberapa banyak jumlah jahe, kencur, atau laos dalam satu tugas meracik bumbu. Rasa itu bukan di lidah, tetapi pada tangan. Pengalamanlah yang akan memberi rasa pada tangan seorang mancagera.
Seluruh elemen adat di Bali lebih banyak berkembang berdasarkan empiris. Tidak ada pelajaran formal untuk menjadi mancagera walaupun ia harus rajin membuka lontar yang berisi aturan tentang bebantenan, seperti Dharma Caruban sebagai petunjuk praktis.
Meracik basa genep bukan sesuatu yang eksak, tetapi itu didapatkan dari belajar langsung. Terkadang merasakan di lidah itu nomor kesekian, sebelumnya di tangan dan penciuman. Biasanya, saat selesai meracik basa genep yang terdiri dari bawang merah, bawang putih, laos, jahe, kencur, kunyit, sereh, merica hitam dan putih, lada, pala, cengkeh, cabai rawit, cabai bun, bangle, jinten, gula merah, terasi, dan garam, seorang mancagera menghirup racikan bumbunya. Ada satu aroma dalam penciumannya kalau bumbu itu dirasa bakalan enak.
Begitulah cakupan tugas seorang mancagera, lebih luas dari sekadar chef dalam pengertian kontemporer. Ia seperti meracik segala jenis berkah yang tumbuh di alam, untuk kemudian mempersembahkannya kepada alam semesta dan manusia. Dalam dimensi yang mencakup hal-hal yang transenden dan imanen ini, lidah kita seperti mengecap kelimpahan berkah dengan penuh takzim.
Sumber Referensi Artikel:
- Diskusi Pastika Nengah
- Artikel Made Asdhiana di Kompas
- Diskusi Wayan Dharme