".. makanan punya kisah .." (.. food has its tale .. cibus habet fabula ..)
.. baik itu mengenai falsafah, filosofis, sejarah maupun perilaku budaya yang menjadi simbol, ritual, adat, dan kearifan lokal masyarakat setempat serta pembentuk karakter, jati diri serta ciri identitas suatu bangsa ..



Saturday, 2 August 2014

Sejarah Kopi Di Indonesia

Diakui atau tidak, produksi, tata-niaga, dan budaya-minum kopi adalah warisan kolonial Belanda yang secara geopolitik dan kultural, telah menjadi ‘pemain’ dalam percaturan politik kopi dunia. Pada ujung abad 17, tahun 1699, biji kopi arabica dibawa dan ditanam ulang oleh seorang bernama Henricus Zwaardecroon. Tiga tahun sebelumnya (1696), Gubernur Belanda di Malabar mengirimkan bibit-bibit kopi jenis ini ke Gubernur Belanda di Batavia untuk ditanam di Kebun Kopi Kedawung Batavia (Jakarta). Namun, penanaman pertama ini gagal panen karena banjir besar yg terjadi di Batavia.

Penanaman kedua, yang akhirnya berhasil melahirkan biji kopi Arabika pertama di Nusantara, ditanaman di 6 (enam) perkebunan. Empat buah, Bidaracina, Jatinegara (meester cornelis), Palmerah, dan Kampung Melayu, terletak di Batavia dan di Sukabumi serta Sudimara, Jawa Barat. Sesaat setelah itu, kolonial Belanda membawa contoh hasil panen biji kopi pertama yang dipetik dari perkebunan-perkebunan di Jawa untuk diteliti. Kebun Botani Amsterdam dipilih untuk mengembangkan dan mendistribusikan secara lebih luas ke seantero Benua Biru.

Henricus Zwaardecroon dan pendahulunya membawa bibit-bibit kopi ini dari Malabar, India. Pada masa itu Malabar sudah diakui sebagai sentra penanaman biji kopi dunia tapi dipercaya bukanlah tempat asal tanaman kopi.

Biji kopi yang dikembangkan di Kebun Botani Amsterdam menemukan pasarnya. Tak terlalu lama, lima tahun kemudian pada tahun 1711, eksport kopi pertama dilakukan oleh VOC, dalam tempo 10 tahun eksport meningkat sampai 60 ton/tahun. Dengan demikian, Indonesia adalah tempat perkebunan pertama diluar Arabia & Ethiopia & VOC memonopoli perdagangan kopi ini dari tahun 1725 sampai 1780.

Selama masa perdagangan itu, kopi Arabika yang ditanam di kebun-kebun di Pulau Jawa masuk ke Balai Lelang Amsterdam untuk pertama kali. Nama merk yang dipilih sebagai perkenalan untuk kopi dari Jawa ini adalah ‘Java Koffie’.

Pelelangan ini boleh dikatakan menjadi penanda kesuksesan kolonial dalam membudidayakan kopi di tanah jajahan. Jumlah kopi yang dibawa oleh kolonial waktu itu sekitar 894 pon, yang dikapalkan langsung dari perkebunan Batavia. Java Koffie laku dengan harga per ponnya sekitar 47 sen.

Terlihat bahwa perdagangan kopi sangat menguntungkan VOC, tetapi tidak bagi petani kopi di Indonesia saat itu karena diterapkannya sistem cultivation [Cultuurstelsel]. VOC kemudian melebarkan sayap dgn menanam kopi diluar Jawa seperti di Sumatra, Bali, Sulawesi & Timor. Di Sulawesi mulai ditanam tahun 1750, di dataran tinggi Sumatra Utara dekat Danau Toba ditanam sekitar tahun 1888 & di Gayo, Aceh dekat danau laut tawar ditahun 1924.

Dikirimnya kopi Jawa ke Balai Lelang Amsterdam ternyata berdampak luas. Seorang bernama Gabriel de Clieu sampai di Paris, Perancis dan memperkenalkan Java Koffie ke Raja Perancis, Louis XIV. Karena Java Koffie, kolonial Perancis untuk pertama kali menanam bibit biji kopi di daerah Martinique yang terletak di sebelah timur Laut Karibia, salah satu pulau yang ditemukan oleh Christoper Columbus tahun 1493.

Tak mengherankan, kopi yang kemudian tersebar di dataran selatan Benua Amerika, Amerika Latin, merupakan ‘anak-anak’ dari pohon yang ditanam di Martinique ini. Seperti salah satu varian kopi Arabika paling terkenal di dunia, Bourbon, yang tumbuh subur di dataran tinggi Brazil. Karena penyebarannya yang amat pesat, konon, di Negara Brasil yang dikenal sebagai penghasil kopi terbesar di dunia, bibit yang diperoleh juga di dapat dari daerah Jawa.

Di Indonesia sendiri, biji kopi tersebut juga menyebar pembudi-dayaan-nya ke berbagai daerah perkebunan seperti Jawa Barat melalui tanam paksa oleh Belanda. Setelah itu menyebar ke daerah-daerah belahan pulau lain seperti Sumatra, Sulawesi, Bali, dan Timur. Pedagang dari Arab pun kalah dalam hal efisiensi karena Belanda mampu lebih baik dalam hal menanam, memanen, serta memperdagangkan ke Benua Eropa.

Seperti Brasil, Negara Indonesia, dalam sejarahnya, juga pernah mendapatkan prestasi sebagai negara produsen kopi Arabica terbesar di dunia. Namun dikarenakan hama karat daun, prestasi itu tidak bertahan lama. Serangan hama yg disebabkan cendawan hemileia vastatrix tersebut menyerang tanaman kopi di Indonesia sekitar abad ke-19. Sisa-sisa tanaman kopi Arabica masih dapat di temui di kantong penghasil kopi di Indonesia. Antara lain di dataran tinggi Ijen- Jawa Timur, tanah tinggi Toraja Sulawesi Selatan hingga lereng bagian atas pegunungan bukit barisan Sumatra, seperti di Mandailing, Lintong, dan Sidikalang di Sumatra Utara lalu di di dataran tinggi Gayo di Daerah Istimewa Aceh.


Asal Muasal Biji Kopi
Sejarah kopi telah dicatat sejauh pada abad ke-9. Pertama kali, kopi hanya ada di Ethiopia, di mana biji-bijian asli ditanam oleh orang Ethiopia dataran tinggi. Akan tetapi, ketika bangsa Arab mulai meluaskan perdagangannya, biji kopi pun telah meluas sampai ke Afrika Utara dan biji kopi di sana ditanam secara massal. Dari Afrika Utara itulah biji kopi mulai meluas dari Asia sampai pasaran Eropa dan ketenarannya sebagai minuman mulai menyebar.

Diawali dari cerita seorang penggembala kambing Abessynia yg menemukan tumbuhan kopi sewaktu ia menggembala, hingga menjadi minuman bergengsi para aristokrat di Eropa. Bahkan oleh Bethoven menghitung sebanyak 60 biji kopi untuk setiap cangkir kopi yg mau dinikmatinya.

Biji Kopi pertama kali dibudidayakan pada abad 15 M oleh orang-orang Muslim di daerah bernama Harar, Abyssinia - saat ini masuk ke dalam teritorial Ethiopia. Agak mengherankan karena pada masa itu, Kerajaan Abyssinia yang memiliki otoritas politik di wilayah itu, tidak memproduksinya dalam jumlah yang signifikan. Kerajaan Abyssinia yang beragama resmi Kristen baru memproduksinya dalam jumlah besar pada abad 20 M.

Tahun-tahun berikutnya, biji kopi masih dibudidayakan oleh kaum Muslim dan tumbuh secara liar di wilayah Kerajaan Abyssinia. Barangkali, pasar menyebutnya sebagai kopi Arabika karena produksi sejumlah kopi waktu itu erat kaitannya dengan orang-orang dari Jazirah Arab. Bukan dengan orang-orang Abyssinia yang nyaris sama sekali tak memanen, menjual, atau mengonsumsinya.

Di masa ini telah dikenal biji kopi jenis Robusta, Liberica, dan Excelsa. Robusta tumbuh di sekitar Kongo juga wilayah tropis Afrika lain dan Excelsa banyak ditemui di dataran rendah Afrika Barat dan Tengah. Sedangkan Liberica, dapat mudah ditebak, tumbuh di sekitaran daerah bernama Liberia.

Sampai 200 tahun berikutnya biji kopi masih menjadi komoditas yang ‘dimonopoli’ secara komersial oleh kaum Muslim Yaman. Meskipun sudah ada sedikitnya 3 (tiga) sub-jenis lagi dari tanaman kopi yang tumbuh di Harar dan wilayah Kerajaan Abyssinia lain, tetapi kopi-kopi tersebut dikenal dengan sebutan Arabika. Bahkan, ia memiliki nama lain yang lebih eksplisit: Mocha Yaman.

Satu lagi yang mungkin cukup mengejutkan kopi berbeda dengan produk pertanian lain. Sejak pertama kali dibudidayakan dalam jumlah signifikan, tingkat produksi biji kopi tidak berbanding lurus dengan tingkat konsumsi orang Yaman. Artinya, kopi sejak mula diorientasikan untuk dijual kepada orang luar, ekspor. Secara langsung, setelah memanen biji kopi, orang-orang Yaman pergi ke arah timur untuk membarternya dengan produk-produk lain. Mengapa, alasannya cukup sederhana, orang-orang Yaman lebih mencintai teh dibanding kopi.

Kembali ke kopi Jawa yang diperjual belikan di Balai Lelang Amsterdam akibat termotivasi oleh pemerintah kolonial Belanda yang waktu itu masih diwakili oleh VOC, orang-orang Yaman turut menjual panen biji kopinya ke Balai Lelang Amsterdam. Sebelumnya, orang-orang Yaman ini masih agak segan untuk secara masif memasarkan produksi biji kopinya ke Amsterdam. Selain karena biaya transportasi yang harus ditanggung sangat tinggi, pajak yang dikenakan oleh pemerintah Turki Usmani tergolong mahal ketika mereka melintasi daerah-daerah protokol mereka.

Kopi sebenarnya telah menjadi minuman yang dikenal luas, dengan rantai produksi yang cukup rumit, karena komoditas ini telah menjadi trend ‘invasi’ besar-besaran di banyak rumah tangga masyarakat AS dan Eropa yang sudah dikenal sebagai produk konsumsi yang sangat menggiurkan. Bisa dikatakan momentum kopi Jawa yang diperjual belikan di Balai Lelang Amsterdam kemudian memberikan daya dorong bagi perkembangan kopi sebagai komoditas perdagangan di dunia, khususnya biji kopi yang ber-asal dari benua Nusantara (sekarang Indonesia) yakni ‘Java Koffie’.

Bisa dikatakan, kopi berasal dari negara timur tengah lalu menyebar ke negara-negara lainnya di seluruh dunia melalui perantara pedagang-pedagang. Disamping itu, kopi menjadi minuman yang paling di gemari di seluruh dunia karena di sebagian besar negara di dunia mengibaratkan minum kopi menjadi sebuah tradisi dan kebudayaan baru mereka.

Artikel ini diambil dari tulisan Arys Aditya dengan sumber referensi dari:
- Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Secangkir Kopi Meracik Tradisi, 2011.
- William Gervase Clarence-Smith dan Steven Topik (eds.), The Global Coffee Economy in Africa, Asia, and Latin America 1500-1989, 2003.
serta dari:
- Wikipedia
- SejarahBangsa
- Refresh Indonesia